Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ajarkan Anak untuk Berani agar Tidak Dibully

14 Oktober 2014   18:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:04 2055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian penganiayaan seorang siswi SD oleh teman-temannya di sebuah SD di Bukit Tinggi, kembali menghentak kita semua. Penulis yakin, hal-hal seperti ini masih kerap terjadi namun belum terungkap. Pembully-an yang terjadi di sekolah tidak hanya terkait kekerasan fisik, namun bisa juga non fisik seperti pengucilan dari teman-teman misalnya. Agar anak-anak tidak mudah atau selalu menjadi sasaran pembully-an, maka sebaiknya orang tua mengajarkan anaknya untuk berani menghadapinya. Dua anak penulis (kelas 5 SD dan kelas 1 SD) juga pernah beberapa kali dibully oleh teman-temannya di sekolah.

Yang kelas 5 SD tidak dibully secara fisik, namun secara psikis berupa pengucilan. Hal ini disebabkan tidak mau memberi contekan saat ulangan. Akibatnya anak penulis didiamkan dan tidak diajak bermain oleh teman-temannya. Malah teman-temannya sepakat melaporkan kepada guru bahwa anak penulis telah mencontek dalam ujian. Hal ini penulis ketahui saat melihatnya kurang bersemangat belajar, tidak seperti biasanya. Setelah diajak bicara dan dikorek-korek sedemikian rupa, keluarlah keluhan mengenai perlakuan yang dialaminya.

Penulis dan istri pertama kali memuji anak karena telah berani berbuat benar, tidak mau memberi contekan saat ulangan. Sang anak kami ceritakan kisah-kisah orang-orang yang jujur baik yang berasal dari sejarah agama maupun kontemporer. Sang anak tampak tertarik dan bersemangat mengikuti alur cerita. Setelah itu, barulah diberikan tips agar lebih berani menghadapi keadaan di sekolahnya. Bahwa tidak mengapa dijauhi oleh teman-teman yang tidak suka karena kejujurannya, karena ia bisa mencari teman-teman lain yang lebih baik. Juga kami dorong untuk memberitahu gurunya apabila ada yang memaksa meminta contekan saat ujian.

Kesempatan itu juga kami manfaatkan untuk mengajarkannya untuk berani bila mengalami pembully-an secara fisik. Karena anak perempuan, sangat penting kami tekankan tentang bagian anggota tubuhnya yang tidak boleh disentuh oleh siapapun kecuali orang tuanya. Misalnya yang menyentuh kelamin, bahkan ayahnya pun tidak akan melakukannya kalau bukan karena terpaksa misalnya untuk kondisi darurat atau medis, hal itu akan menjadi domain sang Bunda.

Syukurlah komunikasi antara orang tua dan anak sangat efektif menumbuhkan keberanian anak. Bahkan anak penulis berani melaporkan pada gurunya hingga menegur langsung orang dewasa yang membuang sampah sembarangan dan merokok di lingkungan sekolah. Kebetulan beberapa pengantar/penjemput dan penunggu murid di sekolah (bisa jadi orang tua, kerabat atau bahkan sopir) tidak sungkan merokok meskipun banyak anak-anak di sekitarnya. Setiap hari penulis dan istri sempatkan untuk berbincang dengan anak-anak mengenai kegiatan dan aktivitasnya. Syukurlah, anak-anak tanpa sungkan selalu menceritakan kisah-kisahnya baik yang membuat senang dan gembira, ataupun seputar masalah dan kesulitan yang dialaminya.

Anak perempuan penulis yang baru kelas 1 SD pun tak luput mengalami pembully-an di sekolahnya. Yang paling sering adalah teman-temannya yang nakal mengambil alat-alat sekolah (pensil, serutan, penggaris, penghapus, dll.) atau bekal sekolah. Bahkan ada juga temannya yang memaksa untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru seperti menulis dan menggambar. Hal ini seringkali menyebabkan anak penulis menangis di kelasnya. Istri penulis yang menunggu di sekolah dan melihat hal ini pertama kali, membiarkannya saja dan mengamati bagaimana sikap yang akan diambil sang anak saat diganggu.

Saat di rumah, barulah diajari bagaimana menghadapi gangguan tersebut. Yang kami tekankan adalah keberanian sang anak saat diganggu teman-temannya. Sang anak harus berusaha menolak dengan tegas, bila belum berhasil maka harus berani berbicara untuk memberitahu pada sang guru. Sang anak kami sugesti untuk tidak cepat menyerah dengan menangis, juga tidak boleh langsung mengadu kepada ibunya, walaupun tahu ada ibunya yang menunggu dan mengawasinya di sekolah. Syukurlah hal ini berhasil dan gangguan-gangguan tidak lagi datang bertubi-tubi karena sang anak sudah berani menghadapinya. Kami beritahu pada anak bahwa bila takut/menangis apalagi diam/pasrah saja saat diganggu, maka anak-anak nakal biasanya akan semakin senang mengganggunya.

Demikianlah sekelumit pengalaman penulis dalam menyikapi pembully-an yang dialami anak-anak di sekolah. Menanamkan keberanian kepada anak baik untuk berbicara maupun bertindak ternyata berhasil dalam menghindari dan menghadapi pembully-an di sekolah. Hal ini dapat dilakukan bila anak tidak segan dan sungkan apalagi takut dalam berkomunikasi dengan orang tua. Orang tua juga harus menunjukkan teladan yang baik di rumah, misalnya semaksimal mungkin tidak marah secara berlebihan dan melampaui batas. Juga jangan marah bila sang anak mengemukakan pendapatnya dan mengkritik orang tua di rumah. Hargai pendapat sang anak untuk menumbuhkan harga diri dan keberanian mereka.

Bila memungkinkan, bisa juga anak-anak mulai diajarkan olahraga bela diri. Namun jangan lupa, agar orang tua memberi pemahaman pada anak bahwa mengikuti bela diri dalam rangka olahraga dan kesehatan sekaligus untuk membentengi diri dari gangguan. Jangan sampai hal ini malah membuat anak-anak kita yang menjadi pelaku pembully-an baik di sekolah maupun di lingkungannya. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun