Udah hampir setahun sejak gue terakhir nonton Blade Runner 2049 lewat laptop Lenovo Ideapad T460 yang sering mati-matian, di tengah kamar gelap yang cuma diterangi cahaya layar. AC di kamar yang dinginnya sampe bikin leher kaku, dan suara kipas yang berisik banget kayak suara angin lewat kota futuristik. Gak ada yang lebih pas buat nyelami dunia K yang sepi dan penuh keraguan selain suasana yang kayak gini. Kadang, gue ngerasa film ini bukan cuma soal masa depan yang penuh teknologi canggih, tapi lebih ke rasa kesepian dan pencarian makna yang bisa banget lo rasain di kehidupan lo sehari-hari.
Jadi, film Blade Runner 2049 ini gak cuma tentang teknologi dan replikant. Sebenernya, ini film yang ngebahas pertanyaan hidup yang lebih dalam. Apa sih arti hidup, dan gimana kita bisa merasa hidup? Gimana kita nentuin siapa kita, dan apa yang membedakan kita sama mesin?
Dari awal film, lo udah bisa ngerasain sepi yang menekan banget, terutama saat lo ngeliat K, karakter utama yang diambil peran oleh Ryan Gosling. K, meskipun dia seorang Blade Runner, yang tugasnya menangkap replikant yang melanggar hukum, ternyata juga seorang replikant. Dia nggak cuma melawan orang lain, tapi juga berjuang dengan pertanyaan besar tentang dirinya sendiri. Di dunia yang penuh dengan kehampaan itu, K ngerasa dia cuma alat yang diatur dan diprogram. Gue bisa ngerasain banget gimana K berjuang, karena dalam kehidupan kita sehari-hari, kita kadang juga merasa seperti itu, terjebak dalam rutinitas yang udah ditentukan orang lain dalam Dunia pasca-apokaliptik.
Joi, teman virtual yang K miliki, berfungsi kayak penghibur, tapi kita tahu hubungan mereka kosong. Joi adalah program yang dibuat buat jadi teman K, tapi dia nggak nyata. Setiap kali K ngobrol sama Joi, dia merasa nyaman, tapi ada sesuatu yang hilang. Itu yang gue rasain juga kadang dalam kehidupan kita yang serba digital ini. Ketika kita lebih banyak berinteraksi lewat layar daripada secara langsung, kita bisa ngerasa seperti K yang berhubungan sama sesuatu yang kita tau bukan nyata, tapi tetap ada perasaan yang muncul. Seolah-olah, kita semua berusaha mengisi kekosongan dengan hal-hal yang, meskipun bisa memberi kenyamanan, nggak bisa memberikan kita makna hidup yang sesungguhnya.
Masalah K makin rumit saat dia nemuin kenangan masa kecil yang terasa asli, yang ternyata nggak sesuai dengan pemrograman yang biasa dia alami. Dan dari sini, film mulai bawa kita ke pertanyaan yang lebih besar tentang siapa kita sebenernya. Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, bilang kalau "Existence precedes essence" yang berarti, kita nggak dilahirkan dengan esensi yang sudah ditentukan, kita baru menemukan diri kita sendiri melalui tindakan dan pilihan kita. K pun menghadapi masalah yang sama, dia merasa seperti dia nggak punya esensi atau makna, karena hidupnya diatur oleh program. Tapi saat dia mulai mencari jawabannya, dia sadar, esensinya masih bisa ditemukan. Pilihan-pilihan yang dia buat itu yang mulai mendefinisikan siapa dia.
Saat K ketemu sama Rick Deckard (Harrison Ford), yang jadi tokoh utama di film pertama, lo mulai ngerasain kalau film ini bukan cuma soal siapa manusia dan siapa replikant, tapi juga tentang identitas, perasaan, dan pilihan. Deckard, yang udah banyak berurusan sama replikant, juga memberikan perspektif manusiawi tentang hidup dan cinta. Di satu bagian, Deckard bilang ke K, "You know, you've got the makings of a good man." Itu kalimat yang mungkin keliatannya sederhana, tapi sebenarnya sangat penting. Deckard yang udah ngalamin banyak hal, akhirnya mengakui bahwa K, meskipun replikant, punya potensi untuk jadi lebih dari sekadar mesin. Ini mirip dengan apa yang gue rasain tentang banyak orang di dunia ini, kadang kita ngerasa gak penting, kita ngerasa nggak punya tempat, atau bahkan kita ngerasa kita bukan siapa-siapa. Tapi, seperti K, kita punya potensi untuk lebih, bahkan jika itu kadang kita gak bisa lihat sendiri.
Ada satu titik penting yang mengingatkan gue pada filosofi Friedrich Nietzsche tentang will to power keinginan untuk mengatasi batasan dan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Nietzsche bilang, "He who has a why to live can bear almost any how." Artinya, kalo kita tahu alasan hidup kita, kita bisa menghadapi segala kesulitan. K, di film ini, berjuang mencari why, kenapa dia ada di dunia ini, dan kenapa hidupnya penting. Terkadang, kita juga merasa nggak punya alasan yang jelas, atau kita merasa seolah hidup kita cuma untuk ngikutin aturan. Tapi seperti K, kita perlu menemukan why-nya, dan itu bisa jadi alasan kita bertahan dan berkembang.