Jauh sebelum terbentuknya negara modern, spirit terbentuknya negara adalah melindungi hak warganegara sebagai bentuk konsensus untuk melahirkan keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan (fase Masy. Agraris, industrialis dan Informatif), kesadaran manusia  terus  berEvolusi hingga kompetisi untuk mempertahankan wilayah teritorial negara bahkan pengaruhnya hingga melahirkan perang (PD I & PD II) yang memilukan. Selain ekspansi pengaruh teritorial, pengaruh ide bernegara serta eksploitasi SDA pun turut mewarnai itu. Tetapi ada hal penting lain yang menggerakkan, yang agak sulit dideteksi namun nyata ada (lanjut baca M.C. Ricklefs Sejarah Indonesia Modern).
Sejarah tidak mesti dilupakan, sebab ia menjadi instrumen mendeteksi kekeliruan sikap agar mampu merekonstruksi pola bernegara yang lebih baik. Indonesia adalah bagian dari sejarah dunia yang aromanya selalu menerpa negara maju untuk selalu dilamar sebagai rahim bahan mentah industri. Sayangnya para elit politik kita sering menutup telinga dihadapan warganya yang memberi saran & pendapat serta kritikan dianggap sebagai momok upaya perebutan kekuasaan yang selanjutnya ditafsirkan oleh negara sebagai gerakan Makar.
Dalam negara demokrasi, rakyat adalah pemegang kekuasaan yang sesungguhnya, sebab merekalah yang menciptakan konsensus itu dengan spirit hak milik dan keamanannya tetap terjaga dari segala ancamannya. Karena itulah di Indonesia, berbagai lembaga negara (eksekutif, legislatif dan Yudikatif) pasca reformasi (demokratisasi) dibentuk agar saling kontrol satu dengan lain sehingga memungkinkan adanya Check and Balance. Demikian juga hak berpendapat oleh orang perorangan/lembaga (serta agen civil society/Non Govermen Organisation) dijamin oleh konstitusi. Berpendapat tentu memiliki standar etik yakni paham struktur kebijakan Publik sehingga pendapat mengarah pada kritikan kepada fungsi jabatan publiknya bukan private.
Bagaimana mungkin pemilu bebas rahasia dan jujur adil bisa tercapai, sejumlah regulasi oleh pemerintah, alam belum menjadi objek hukum, hingga ekologi selalu diabaikan dan mengancam ruang hidup masyarakat periperial yang sumberdayanya masih rendah. Misalnya Pepres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) masih mengedepankan investasi industri pertambangan, padahal potensi agraris dan maritim belum menjadi perhatian khusus, agar Indonesia menjadi negara pengekspor pangan dan ikan terbesar dunia.
Dinamika Pilkada 2024 mestilah diwarnai dengan diskusi publik yang mencerdaskan agar kita benar-benar memfilter pemimpin berdasarkan basis ide bukan basis ras atau agama tertentu. Agar publik terpuaskan dan memiliki kesadaran bernegara. Hak memilih itulah yang menentukan arah pembangunan sebuah negara maupun daerah. Hak itu harus dibayar mahal oleh mereka yang memegang kekuasaan dengan mengkonversi suara elektoral kedalam kebijakan pembangunan hingga pelayanan sosial dasar (pendidikan & kesehatan), infrastruktur jalan, pelabuhan dan bandara serta mengenjot perkembangan UMKM yang di distribusikan secara merata. Sehingga petani dan nelayan bisa maju. Dengan demikian money politik atau lubang hitam antar partai politik (PARPOL) dan calong kepala daerah (CAKADA) atau CAKADA dan partisipasi elektoral dapat di minimalisir. Sampai disini barulah pemilu Jurdil dapat tercapai dengan output pemimpin yang visioner.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H