Mohon tunggu...
Amir Physich
Amir Physich Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Membaca Buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Demokrasi Indonesia di Persimpangan Jalan

27 November 2023   05:53 Diperbarui: 27 November 2023   06:52 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Amirudin (Pegiat Literasi)

Indonesia sebagai sebuah bangsa pernah mengalami penjajahan ekonomi dan politik yang begitu Apik dan panjang. Pasca proklamasipun masih ada upaya gigih dari Belanda untuk menguasai Indonesia. Spirit perjuangan bangsa indonesia adalah bebas dari kelaparan - kemiskinan dan penjajahan politik serta feodalisme dalam struktur masyarakat Indonesia.

Setelah pengakuan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara di mata dunia internasional, Drama kemerdekaan tampaknya belum juga selesai dalam iklim politik Indonesia yang berakhir pada pemberontakan DI/TII, Permesta, RMS, OPM dan GAM. Gerakan-gerakan tersebut adalah wujud distrust publik terhadap pemerintah yang tidak adil dalam kebijakan pembangunan, sehingga terjadi disparitas pembangunan antara daerah sentral dan periperial.

Memang benar banyak variabel lain yang berkepentingan langsung untuk menguasai Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang melimpah. Namun semua itu bisa direduksi manakala kebijakan pembangunan Indonesia mampu mengakomodasi kepentingan tani, nelayan buruh serta para teknokrat menuju Indonesia yang berkeadilan.

Reformasi 98 berupaya untuk menjawab itu dengan mendorong tiga perubahan mendasar dalam system' ketatanegaraan Indonesia. Pertama, Lembaga negara dibentuk agar adanya check and balance; kedua, System' Pemilu yang Demokratis; ketiga, Partai Politik sebagai organisasi politik untuk menyalurkan hak politik rakyat. Perubahan-perubahan yang fundamental ini memberi harapan adanya perbaikan kualitas hidup masyarakat Indonesia dengan proses demokratisasi. Dua puluh empat tahun Reformasi, Nampaknya cita-cita itu belum juga tercapai, tentu saja itu bukanlah pekerjaan mudah yang bisa di sulap dalam sehari. Tetapi harus terus ada upaya penyempurnaan dalam kehidupan politik Indonesia, setiap saat oleh bangsa terlebih oleh para elit politik dan teknokrat kita dalam mewujudkan cita-cita yg tertuang dalam Konstitusi.

Keputusan 90 MK yang mengabulkan sebagian permohonan Yudical Review  pasal 169 tentang batas usia presiden dan wakil presiden UU 7 Tahun 2017 tentang pemilu, kemudian tanggal 7 November 2023 MKMK memutuskan sanksi etik kepada sembilan Hakim dan pemberhentian ketua Mahkamah Konstitusi. Publik kemudian bertanya-tanya, apakah ini anugrah atau petaka?

Soal pro dan kontra dalam segala hal pasti ada, sebab fitrah manusia memiliki kehendak bebas, karena itu berbeda itu menjadi sebuah kepastian. Pada tataran ilmu yang bebas nilai itu mampu di ukur dengan indikator pada aspek prosedural dan normatif. Tetapi ada prinsip nilai yang menggerakkan manusia dalam bersikap. Kalau nilai pragmatis dan oportunis yang menjadi standar dalam membuat keputusan, Maka hasilnyapun pragmatis dan oportunis. Barangkali inilah dasar sosiolog kondang seperti Kuntowijoyo mengkritik augste comte yang positivistik dengan meletakan dasar ilmu sosiologi profetik dimana nilai humanis, liberasi dan transendensi sebagai basis analisisnya.

Keputusan Majelis Kehormatan Mahkama Konstitusi (MKMK) yang memberi sanksi etik kepada sembilan hakim mahkamah konstitusi menunjukan ada kehendak pragmatis dan oportunis dari hakim MK yang lalai dalam menjalankan tugasnya menjaga kedaulatan Hukum Indonesia.

Keputusan 90 MK tidak dapat di takar sebatas landasan Yuridis, dan mengabaikan landasan filosofis dan sosiologis. Kalau tinjauan yuridis benar adanya UUD 1945 memberi peluang kepada setiap warga negara memiliki hak politik yakni dipilih dan memilih. Namun kalau kita tinjau dari Filosofis, maka ontologis, epistemologis serta aksiologis kepemimpinan nasional memiliki standar tertentu sebagai upaya kaderisasi dan kematangan intelektual, emosional bahkan spritual. Aspek intelektual misalnya, apakah seorang pemimpin memiliki pemahaman utuh tentang sejarah bangsa dan tantangan negara dalam setiap zaman yang terus berubah. Aspek emosional apakah pemimpin sosial dengan sejumlah tokoh tua dalam menjahit seluruh kepentingan nasional. Namun pada aspek spiritual tentu adalah rahasia bagi dirinya dan tuhan untuk mengetahui kadar ketaatanya, namun semua akan terlihat pada sikapnya dalam kehidupan keseharian dan pengambilan keputusannya.

Maka Usia 40 tahun berdasarkan proses kaderisasi kepemimpinan yang di mulai dari usia 30 tahun pemimpin di tingkat Daerah hingga 2 periode. Sehingga 40 tahun merupakan usia kematangan kepemimpinan yang telah menguasai aspek historis daerah dan bangsa serta pengambilan keputusan yang benar dan tepat serta bijak.

Kalau proses ini tidak di lalui, sepertinya ada proses pembusukan kepemimpinan nasional yang menyusup dalam Undang-undang kita. Akibatnya kepemimpinan Nasional mengalami krisis legitimasi dan hingga distrust publik meningkat dan berakhir pada pembangkangan sipil. Jika ini terjadi, maka pemerintah akan kesulitan dalam mengeksekusi kebijakan yang terus di lawan oleh warganya sendiri. Sementara Pekerjaan Rumah kita bersama yaitu problem kemiskinan dan kesejahteraan, keadilan dan kepastian hukum, Politik Kawasan di Indo-Pasifik, ketegangan perang Rusia dan Ukraina, Israil dan Palestina yang tentu saja mempengaruhi Indonesia. Bagaimana Masa Depan Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun