Profesi mulia yang sedang mendapat sorotan luas akhir-akhir ini adalah hakim, dokter dan penghulu.
Hakim sering diibaratkan sebagai orang yang kaki kanannya berada di syurga, sedangkan kaki kirinya ada di neraka. Karena itu hakim dituntut untuk adil agar tidak tergelincir ke neraka. Sang wakil Tuhan, demikian sang dokter sering disebut. Mungkin karena hidup mati seseorang banyak yang menggantungkan harapannya pada sang dokter. Andaipun dokter gagal, barangkali itu memang sudah takdirnya. Penghulu, ah entahlah apa gelar atau julukan untuk seorang penghulu. Biasanya ada istilah penghulu itu orang yang suka nenghalalkan yang haram. Ya, jalinan cinta pria dan wanita yang awalnya terlarang dengan "fatwa" penghulu menjadi halal dan sah.
Hakim sekarang sedang naik daun karena menjatuhkan vonis berat untuk koruptor. Lihat misalnya vonis untuk Angelina Sondakh, Fathanah dan Lutfi Hasan. Dokter sedang dihujat karena demonstrasi sebagai aksi solidaritas rekannya yang dipenjara akibat tuduhan malpraktik. Dokter pun menjadi cemas, takut menangani pasien kritis, jika pasien tak selamat dokter takut dipenjarakan. Padahal urusan hidup, sehat dan mati ada pada Sang Kuasa.
Penghulu bernasib sama dengan dokter. Sedang mendapat vonis hakim sebagai koruptor karena menerima pemberian masyarakat akibat menikahkan diluar jam kerja dan di luar kantor. (Lihat kasus Kepala KUA Kediri). Penghulu dituduh menerima gratifikasi. Ikhlas tidak ikhlas katanya tetap gratifikasi. Tidak peduli diminta menikahkan dihari sabtu dan minggu dengan jarak 10 km sekalipun tetap gratifikasi. Ancamannya 5 tahun penjara. Maklum, gratifikasinya sangat besar dimata hukum, yakni 60 sampai 100 ribu. Sang hakim berpedoman pada pasal biaya pernikahan sebesar 30 ribu rupiah. Walapun sang hakim tahu 30 ribu itu disetorkan ke negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). Penghulu yang sudah memimpin acara, memberi penasihatan dan doa hanya boleh diberi pahala dari Allah SWT.
Penderitaan penghulu lebih berat dari profesi dokter. Ketika para penghulu berkesepakatan untuk hanya menikahkan di kantor dan pada jam kerja, masyarakat masih mencela, menganggap penghulu egois, berorientasi materi dan bekerja tidak ikhlas. Padahal sebagai peawai kementerian agama seharusnya ikhlas.
Hukum memang terkadang kaku. Tetapi hukum itu tidak semata-mata benar dan salah. Hukum juga harus mengandung ruh keadilan. Sebuah putusan hakim yang benar namun tidak adil, masih bisa diruntuhkan dengan keputusan yang adil meskipun salah. Seorang nenek yang dipenjara karena mencuri 5 buah cokelat atau seorang anak yang dibui sebab mengambil sandal jepit adalah buah dari hakim berkacamata kuda yang kaku membaca pasal, tapi kering memaknai keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H