Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan realita yang terjadi sepanjang zaman. Dari kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan seksual, masalah ini kian merajalela di tengah masyarakat kita. Rasanya sangat sulit, bahkan mustahil, untuk bisa menghapuskannya dari bumi Indonesia, entah di masa lalu, masa sekarang, ataupun di masa depan.
Tapi, kenapa? Kenapa sampai muncul kata mustahil? Bukannya undang-undang yang kita miliki sekarang sudah cukup untuk menghentikan seseorang dari berbuat kekerasan?
Memang, peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini guna melindungi para perempuan dan anak di Indonesia merupakan salah satu solusi. Akan tetapi, itu saja belum cukup karena nyatanya, jikalau kita kupas penyebabnya satu per satu, akar permasalahannya jauh lebih kompleks dari apa yang kita kira.
Berdasarkan ketiga sumber yang tercantum di akhir tulisan ini, semuanya sepakat bahwa budaya patriarki yang memosisikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi peran dalam masyarakat, serta toxic masculinity yang mendorong ide bahwa laki-laki harus menunjukkan kekuatan dan dominasi atas perempuan, menjadi penyebab utama dari maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dewasa ini. Dan dengan kolaborasi dari keduanya yang masih melekat di pikiran masyarakat Indonesia, menjadikan mayoritas masyarakat mewajarkan laki-laki untuk dapat berlaku kasar terhadap perempuan dan anak-anak yang ada di sekitarnya dengan dalih untuk "mendidik" dan "memperbaiki" karakter orang lain. Padahal, segala tindak kekerasan yang melukai fisik, psikis, dan atau seksulitas orang lain merupakan suatu tindak kriminal yang tidak dibenarkan oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Selain itu, kesenjangan sosial yang sesuai dengan pepatah "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin" juga memainkan peran besar dalam menjadi alibi seseorang untuk dapat melampiaskan emosinya kepada orang lain dengan cara yang semena-mena dan kelewat batas. Meskipun menjadi kaya tidak sepenuhnya membuat seseorang menjadi lebih bisa berpikir logis, tapi hidup di bawah garis kemiskinan memungkinkan seseorang untuk lepas kendali. Belum lagi ditambah dengan tingginya tekanan hidup yang diterima, baik dari keluarga ataupun masyarakat sekitar, yang akhirnya membuat si miskin lebih mudah stress sehingga dapat dengan mudah menyakiti orang lain, entah secara fisik, psikis, ataupun seksual.
Pernikahan dini juga memperburuk situasi dengan melahirkan banyak orang tua yang abusive atau kasar terhadap anak dan pasangannya. Kematangan emosi yang masih minim, ditambah dengan kurangnya pengalaman hidup, membuat para muda-mudi yang menikah muda menjadi kurang bisa memahami langkah terbaik yang harus diambil ketika dihadapkan suatu permasalahan dalam rumah tangga. Selain itu, pernikahan dini juga beresiko menyebabkan kemiskinan karena ketidaksiapan mental dan finansial yang senantiasa melekat padanya.
Meskipun ada faktor-faktor lain yang juga memengaruhi, seperti tontonan yang dikonsumsi, perselingkuhan, dan manajemen emosi yang rendah, faktor-faktor utama ini merupakan kunci dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dengan memahami akar masalah sebagaimana yang telah disebut di atas, kita sebagai masyarakat harus mau dan mampu berperan aktif dalam menjaga ketertiban dan keselamatan perempuan dan anak-anak yang ada di sekitar kita. Membantu sosialisasi tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta terus berbenah diri, adalah langkah awal menuju Indonesia yang lebih ramah dan aman untuk perempuan dan anak-anak.
Sumber:
Hidayat, A. (2021). Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan. AL-MURABBI: Jurnal Studi Kependidikan Dan Keislaman, 8(1), 22--33. https://doi.org/10.53627/jam.v8i1.4260
Jadi, M. (2021). Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia: Pemicu dan Alternatif Penanganan Violence Against Women in Indonesia: Triggers and Alternative Treatment. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(2), 110--126.