Duduk termangu menatap papan kosong di dapan kelas, tak berselang sedetik saat ku kedipkan mata, badanku terhempas dari tempat duduk yang tadinya begitu tenang. Kagetku membuat mulut ini enggan mengeluarkan kata tolong malah menganga tak berkutik.
Padahal aku hanya duduk, membuat imajinasi ternyaman agar tidak bosan saat jam kosong berlangsung. Tapi, mereka berbeda, mengisi jam kosong dengan tertawa asik karena mendengar jeritan kesakitan seorang anak yang sekarang tergeletak tak punya kekuatan untuk bengkit karena kalah banyak.
Mereka terlihat sangat bahagia rupanya, ada juga tampang para siswa lain yang hanya menonton seolah ini adalah adegan film yang begitu menarik sampai-sampai tidak ada cela untuk filmnya di jeda.
Tangan demi tangan, kaki demi kaki yang tak terhitung menghampiri tubuhku yang kecil mungil ini, tubuh yang dirawat dengan kasih dan penuh sayang oleh bapak dan ibuku, kini dibuat memar penuh warna oleh mereka yang katanya “pembuli adalah raja”.
Kukira ini tak berlangsung lama, sampai pada tenagaku benar-benar terkuras sebab menahan pukulan demi pukulan. Kenapa? Mengapa? Salah apa yang sudah ku perbuat?.
Bapak..ibu…maaf, bukannya pasrah tapi terkadang mereka yang punya kuasa lebih leluasa, dan aku tak punya daya selain teriak memohon untuk berhenti. Sampai setiap pukulan itu tak dirasa lagi oleh tubuhku yang mulai kaku membeku di lantai kelas tempat aku selalu mempertanyakan “bagaimana kehidupanku di hari esok”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H