Aku masih tidak terima dengan vonis keluargaku, bahwa aku dinilai menyimpang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bermazhab dibilang taqlid buta, tidak mengikuti as-salafus shalih bahkan dikategorikan sesat. Padahal Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi memiliki salah satu dari kesepuluh kriterai itu, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat. Kriteria itu adalah mengingkari rukun iman dan rukun Islam, meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Al-Qur'an dan as-sunah), meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur'an, mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qur'an, melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir, mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, dan mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar'i.
Di sinilah kekecewaan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan, muncul meronta-ronta untuk memenuhi ajakan adikku itu. Meski tak kupungkiri terselip kerinduan di relung hati yang paling dalam akan jalinan erat silaturahim sebuah keluarga. Saat itu menyelinap pula kerinduan suasana kampung halamanku yang indah. Lamunan membawaku terbang jauh terbayang masa kecilku, saat di desa Cikole. Cikole adalah nama desa terdekat dengan Gunung Tangkuban Perahu, jaraknya sekitar 7 km. Mayoritas penduduknya adalah petani. Banyak sekali hasil bumi yang dihasilkan dari desa ini, terutama sayuran dan tomat yang paling dominan. Desa yang berhawa sejuk dan dingin, dikelilingi hamparan sawah pegunungan dan pepohonan rimbun ini selalu menghadirkan kerinduan di alam bawah sadarku.
Astaghfirullah. Aku beristighfar dengan keegoanku. Aku pun memutuskan pulang.
"Ayah ingin berbicara dengan Kakak, Ayah menunggu Kakak sekarang." Adikku memulai pembicaraan saat aku tiba di kediamannya. Aku hanya diam dan mengangguk saat ia menawariku helm untuk segera berangkat. Aku masih merasa asing diboncengnya. Puluhan tahun tak berjumpa membuat kami canggung berbasa-basi.
Motor itu mengantarkan kami ke sebuah rumah yang meninggalkan nostalgia indah bersama keluarga di masa kecilku dahulu kala. Terbayang keceriaan bermain dan mengaji bersama adikku dan beberapa kawan di rumah ini. Ayahku seorang tokoh agama. Banyak orang-orang desa datang mengaji, meminta nasehat, dan berkonsultasi masalah agama dengan ayah.
Hari itu tatapan seluruh keluarga atas kedatanganku tetaplah asing. Aku mendekat ke wajah ayahku, bersimpuh di pembaringannya. Hilang terbang terbawa angin  semua kekecewaan, kekhawatiran, ketakutan, bahkan kemarahan yang selama ini tersimpan dalam dada. Tangisku pecah saat kuberkata,
"Maafkan aku ayah," pintaku tak kuat melihat keadaannya terbaring sakit.
"Nak, Ayah sudah memaafkanmu," Ayahku membuka mulutnya, dan melanjutkan,
"Ayah yang meminta maaf padamu, Nak." Sembari menghela nafas panjang ia berujar untuk terakhir kalinya,
"Tolong lanjutkan perjuangan dakwah di sini, Ayah ridha dengan ilmu yang sudah kamu miliki. Ajarkan orang-orang dengan ilmumu."
Semua menangis saat ayah memulai proses sakaratul maut. Bimbingan kalimat tauhid indah dilantunkan seluruh keluarga. Laa ilaaha illallah. Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H