"Nad?"Â
Suara tak asing itu berdering di telingaku seperti suara ayam berkokok di pagi hari, mengingatkanku bahwa malam telah berubah menjadi pagi. Namun, suara yang terdengar dari telepon genggamku sedikit berbeda--ia mengingatkanku tentang dini hari yang akan segera terlewati ketika loudspeaker di Masjid terisi dengan suara azan subuh.Â
"Dio?"Â
Aku membalasnya dengan nada bingung. Apa yang aku harus harapkan ketika orang yang lenyap dari hidupku sepuluh tahun yang lalu, kembali secara tiba-tiba?Â
"Mau ketemu? Aku di Bakmi Roxy Sabang."
Obrolan singkat melalui telepon itu bisa menjelaskan kenapa sekarang aku sedang berjalan kaki sendirian di Jalan Sabang. Walaupun jam tanganku sudah memperlihatkan pukul sembilan di malam hari, keramaian jalan ini tak kunjung mati. Aku menoleh ke sebelah kiriku dan melihat banyak orang terduduk makan sate ayam di depan gerobak, sambil mencoba mengingat dimanakah tenda berwarna jingga dengan tulisan "Bakmi Roxy". Sudah sekitar lima tahun aku tak berkunjung ke tempat ini, karena setiap sudut mengingatkanku tentang dia. Dia yang telah mewarnai hidupku selama satu tahun, dia yang memeluk hangat tubuhku di malam hari dan dia yang tiba-tiba memutus hubungan melalui telepon di jam tiga pagi. Oh, dan dia yang akan aku temui sekarang.Â
Aku sendiri tak tahu kenapa aku setuju untuk bertemu dengan dia. Semua orang tahu aku seperti apa ketika aku secara tiba-tiba mendengarkan kata-kata "You're not what I need anymore." Aku masih ingat perasaan aku ketika aku akhirnya mencerna apa yang telah terjadi, ketika aku akhirnya menyadari bahwa ini akhir dari aku dan dia. Retakan di pintu kamar mandi masih menjadi pengingat runtuhnya aku di malam itu. Bahkan, ia menjadi saksi bisu semua rasa sakit yang aku alami, semua rasa kebingungan yang mewabah di kepalaku dan semua malam dimana aku tak sanggup tidur, berharap bahwa ia akan tiba-tiba menelpon dan menyatakan bahwa ini semua kesalahan.Â
Amburadul. Hanya kata itu yang bisa menjelaskan kondisi aku pada masa itu. Namun, walaupun aku sering berteriak bahwa aku benci dia dan ingin dia pergi, binasa di neraka, bagian kecil dari diriku ingin dia kembali di hidupku. Aku berharap ia akan tiba-tiba muncul di sebelahku dan aku bisa merasakan kehangatan tangan merangkul pinggangku, karena hanya itu yang bisa membuatku merasa nyaman. Namun, itu hanya khayalan belaka karena hari ini menandai tahun kelima ia lenyap dari hidupku. Harusnya, sih. Lucunya, ketika aku akhirnya nyaman dengan kehilangan dia, ia tiba-tiba menyelinap kembali dan meminta ketemu denganku.Â
Sejujurnya, setelah menerima telepon itu, gusar mulai timbul di dadaku. Kenapa ia tiba-tiba kembali ketika aku sudah menerima kepergian dia? Kenapa ia tidak kembali ketika aku masih mengharapkan kehadirannya, bahkan hanya untuk semalam saja? Tapi, sepertinya bagian kecil dari aku masih berharap kita bisa kembali seperti dulu, buktinya sekarang aku seperti wanita bloon mencari dia di Jalan Sabang.Â
Oh, wanita bloon.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H