Mohon tunggu...
Amira Hilda Normatyas
Amira Hilda Normatyas Mohon Tunggu... -

a student of Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta majoring in communication science who wants to be seen with a fresh pair of eyes.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Nitip Makan

14 Januari 2015   05:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:11 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"eh sekalian nitip beliin ini/itu dong” begitu kira-kira dialog seseorang yang hendak menitipkan sesuatu. Dari nitip makanan hingga nitip absen. Bagi anak rantauan baru macam saya itu masih tergolong—istilah kerennya yang saya comot dari kepingan materi Sosiologi waktu SMA—dinamakan ‘cultural shock’ alias masih beradaptasi gitu sama kondisi yang serba bareng, namun itu sudah menjadi hal yang super biasa untuk anak kos senior di luar sana. Bukan cuma nitip, tapi juga meminjam barang. Malah lebih parahnya, ketika saya sharing soal persiapan mental dan bagaimana menjadi anak kos (waktu itu saya masih SMA he..he..) salah seorang sahabat saya berkata “nanti akan ada waktu dimana pinjem laptop itu udah kayak pinjem sendok makan” seram memang kedengarannya. Namun itu memang terjadi. Apalagi dalam lingkup mahasiswa. Fokus dalam tulisan saya kali ini akan membahas tentang budaya nitip, khususnya nitip makanan. Kenapa makanan? Karena membahas tentang titip absen itu udah way over mainstream.

Budaya nitip sudah membabi buta di negeri kita tercinta Indonesia. Saya sendiri adalah pelakunya, pelaku nitip maupun yang dititipi. Titip, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah menaruh (barang dsb) supaya disimpan (dirawat, disampaikan kepada orang lain), titip juga berarti mengamanatkan (untuk disampaikan dsb). Namun terlepas dari pengertian yang kaku, banyak masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa, menyalah artikan kegiatan nitip. Nitip makan itu sendiri adalah kegiatan dimana ketika ada kawan kita mau keluar misalnya, ke supermarket atau nyari makan ke warung nasi, pikiran kita sudah tersetel secara otomatis lalu turun ke mulut dan keluarlah kata-kata “nitip ... dong” (titik-titiknya di isi dengan menu makanan atau barang yang kita kehendaki). Lalu, apa sebenarnya yang membuat kita doyan nitip makanan? First of all, seiring dengan perkembangan jaman, bukan hanya aplikasi tetapi ternyata pemikiran kita juga mau ngga mau harus di-upgrade menjadi lebih tanggap dan praktis, nitip makan adalah salah satu contoh pemikiran yang udah satu tingkat di atas rata-rata. Lebay. Pendeknya, di jaman sekarang orang mau yang serba praktis. Second of all, menurut sumber yang doyan nitip, nitip itu efisiensi waktu. Daripada dua orang menuju tempat yang sama, lebih baik satu orang jalan, satunya lagi ngerjain tugas di kos sambil nunggu makanan datang. Ketiga, alasan ini adalah yang paling mencakup seluruh alasan yang digunakan pelaku, termasuk saya, yaitu males. Yak, males beli sendiri merupakan penyebab, atau lebih tepatnya penyakit para pelaku. Budaya nitip makan membuat kita menjadi ketergantungan dengan orang lain. Lantas, bagaimana dengan pihak yang dititipkan makan? Si tukang titip enteng-enteng saja menitipkan makanan dan hanya meninggalkan uang, atau bahkan ngutang dulu kepada kawan lalu menunggu datangnya santapan, namun pernahkah mereka—atau kita—memikirkan kondisi kawan yang dititipkan makanan? Berdasarkan laporan yang saya jumpai setiap saya atau salah seorang kawan dibebankan oleh kata-kata “nitip makan sekalian dong...”, ternyata mereka menyimpan beribu perasaan. Another lebay words. Sebenarnya pihak yang dititipkan makanan akan merasa waktunya terbuang apabila ketika si penitip meminta dibelikan makanan yang lokasinya jauh, belum lagi ketika makanan yang diberikan ternyata tidak sesuai dengan apa yang diminta, dan yang terjadi malah ada salah satu pihak yang ngambek—atau bahkan kedua belah pihak.

At last, fenomena nitip-menitip barang saya rasa akan sulit menghilang mengingat hal inisudah membudaya. Bagaimana pun juga akan selalu ada situasi dimana kita membutuhkan orang lain untuk diminta membelikan sesuatu entah itu makanan atau apapun. Tinggal bagaimana kita menjaga tata krama agar tidak menyinggung perasaan kedua belah pihak. Karena dengan adanya kegiatan titip-menitip atau pinjam-meminjam dapat menambah tali kekompakan dan kerukunan antar sesama atau bahkan menjadikan hubungan dengan kawan buruk jika disalahgunakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun