Apa yang dimaksud dengan hukuman mati?
Menurut saya hukuman mati adalah hukum/vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Biasanya digunakan untuk efek jera agar kejahatan yang serupa tidak terjadi lagi. Dalam sistem pidana di Indonesia, pidana mati merupakan hukuman yang paling berat dari sekian banyak hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan karena hukuman ini menyangkut jiwa manusia. Dalam menetapkan vonis hukuman mati hal ini dapat menjadi ranah Psikologi Forensik. Menurut Putwain & Sammon (2002) Psikologi Forensik dibangun oleh dua displin ilmu yang beririsan yakni psikologi dan hukum. Semua bentuk layanan Psikologi yang dilakukan Psikologi Forensik dalam fungsi hukum terdiri dari tiga aplikasi yaitu hukum, psikologi dan kriminologi.
Di Indonesia, salah satu kasus hukum yang prosesnya melibatkan peran ahli Psikologi Forensik adalah kasus Verry Idham Henyansyah alias Ryan Jombang pada tahun 2008. Kasus ini bermula karena kecemburuan Ryan kepada Heri Santoso lantaran korban ingin berkencan dengan Novel Andrias yang saat itu menjadi kekasih Ryan. Faktor kecemburuan tersebut membuat Ryan dengan sadis memutilasi tubuh Heri menjadi tujuh potong yang dimasukkan ke dalam plastik sampah. Berawal dari kasus mutilasi ini pihak kepolisian berhasil mengungkap praktik pembunuhan yang dilakukan Ryan sebelum kasus mutilasi pada Heri Santoso dan membuangnya di Kebun Binatang Ragunan. Setelah membunuh Heri, kemudian 10 orang telah menjadi korban dari tangan dingin Ryan yang dikuburkan di sekitar kediaman orang tuanya di Jombang, Jawa Timur. Deretan kasus ini menjadi bukti bahwa Ryan yang bukan lagi sebagai pembunuh sadis. Namun, sudah masuk dalam kategori pembunuhan berantai dalam jangka waktu 2006 hingga 2008.
Pada kasus Ryan, para penegak hukum yang dibantu oleh reserse kriminal melakukan wawancara kepada pelaku, saksi dan orang-orang yang terlibat atau mengenali keseharian Ryan. Selain itu, pihak kepolisian, reserse kriminal dan tim forensik juga mengumpulkan data-data dan berkas terkait riwayat catatan kepolisian pelaku maupun riwayat korban dan mengumpulkan berkas data orang hilang di lingkup Polres Jombang dan jajarannya (JPNN.com, 2008). Para penegak hukum juga melakukan olah TKP dan melakukan rekonstruksi pembunuhan Ryan terhadap korbannya untuk mengetahui pola pembunuhan dari Ryan. Perlu keterlibatan Psikolog forensik untuk mengungkap jati diri pelaku dengan sabar, karena psikopat cenderung berubah-ubah dan mudah membuat orang lain percaya karena pesona dan kepercayaan diri ketika menjawab pertanyaan sehingga susah diketahui titik bersalah dari pelaku.
PERAN PSIKOLOGI FORENSIK
Peran utama dari Psikologi Forensik adalah melakukan asesmen dan autopsi psikologis untuk mengetahui gambaran kondisi mental pelaku kriminal, saksi dan orang-orang yang terlibat dalam kejadian kriminal. Pihak penegak hukum pada saat itu sudah melakukan prosedur asesmen hingga muncul hasil bahwa Ryan adalah seorang yang memiliki kepribadian antisosial atau Psikopat. Perlu dilakukan penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan oleh penegak hukum dengan psikolog forensik untuk mengetahui kondisi psikologisnya melalui asesmen kompetensi mental (competency/insanity), untuk mendeteksi apakah tersangka mengalami gangguan jiwa atau tidak (Maramis, 2015). Selain itu untuk mengetahui bagaimana pola pembunuhan atau modus Ryan pada korbannya, hingga muncul hasil bahwa Ryan selalu menghubungi korbannya untuk datang ke rumah orang tuanya di Jombang dan ia melakukan pembunuhan terhadap 10 korbannya di rumah tersebut, tentunya perlu pendalaman yang ekstra hingga seorang Psikopat mengakui perbuatannya tersebut namun tidak merasa bersalah atas perbuatan tersebut. Seperti yang diketahui dalam kronologis pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan terhadap korbannya. Ryan tidak menunjukkan penyesalan yang merupakan ciri seorang psikopat asli. Alasan Ryan membunuh karena cemburu juga dinamai sejumlah pakar Psikologi forensik dan Kriminolog sebagai motif subside, artinya motif lain yang sebetulnya bukan motif utama. Itu hanya alasan saja, tetapi Ryan tidak sengaja beralasan demi berbohong. Ia jujur mengatakan dia cemburu hanya saja dia tidak mampu membedakan apa yang sebenarnya mendorongnya untuk membunuh (Maramis, 2015).
Dalam beberapa kasus terdahulu yang melibatkan pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan, hakim perlu melihat dengan bantuan psikolog atau psikiater forensik. Apakah saat melakukan perbuatannya, pelaku mengerti akan akibatnya. Menurut hasil pemeriksaan Ryan oleh Prof. Dr. Yusti Probowati Rahayu Psikolog yang sempat memeriksa keadaan psikologis Ryan mengatakan bahwa Ryan sangat sadar atas perbuatannya. "Kontak realita ada, komunikasi dan logikanya bagus disimpulkan bahwa dia bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan" (kata Prof.Dr. Yusti Probowati dalam Ubaya,2008).
Hukuman yang diterima Ryan setelah melalui proses penyidikan dan penyelidikan adalah didakwa dengan pasal berlapis 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati yaitu ; “ Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Ryan dijerat pasal tersebut karena sebelum melancarkan aksinya Ryan selalu mengundang korbannya yang memiliki masalah dengannya ke rumah terlebih dahulu yang dikatakan berencana.
Pada Heri Santoso Ryan menggunakan harta benda korban yang dibunuhnya untuk bersenang-senang dengan pacarnya, maka dari itu ia didakwa dengan pasal 365 ayat 3 KUHP dengan ancaman 9 tahun penjara, pasal ini berbunyi “ Jika perbuatan (pencurian) mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” (dilansir dari detikNews, 2008).
Ketika terjadi pembunuhan karena adanya gangguan kejiwaan seperti depresi, schizophrenia, paranoid yang membuat pelaku tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya akan sangat naif ketika pelaku diberikan hukuman pidana atau hukuman mati. Karena ia memang melakukan pembunuhan tersebut tidak dengan kesadarannya.
Maka dari itu nantinya ketika terdapat kasus pembunuhan dan pelaku adalah seorang yang mengidap gangguan jiwa. Alangkah lebih baik ketika Psikolog forensik yang menjadi saksi ahli memberikan rekomendasi agar psikopat dengan ganggguan jiwa tersebut dapat ditangani di pusat rehabilitasi psikologis.