Mohon tunggu...
Amira Aufa
Amira Aufa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Fascinated by human behavior and interraction. Film, book, and history enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Permasalahan Beras di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang: Sebuah Review Artikel Benedict Anderson

3 Mei 2021   13:28 Diperbarui: 11 Mei 2021   11:47 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Untuk ibukota provinsi dan kota besar, termasuk daerah khusus Jakarta memperoleh 100-230 gram beras per individu

  • Selain kota-kota besar, distribusi reguler dibatasi untuk pegawai negeri

  • Pendistribusian kepada rakyat jelata di luar kota besar jauh dari kata mencukupi

  • Kondisi ini memicu kelaparan dan mengakibatkan banyaknya pencurian, salah satunya palawija. Contoh, di desa Babakan Ciparay di kabupaten Bandung, distribusi per individu adalah 32 gram per hari. Di Kawedanan Cicurug, Bogor, 100-300 gram per keluarga untuk 3-7 hari, sementara di Bowerno, Bojonegoro, per keluarga mendapat 500 gram beras per keluarga untuk lama waktu satu bulan. Sementara itu, ditemukan penjualan beras di pasar gelap (blackmarket). Harga beras di pasar gelap melambung tinggi, berkisar antara f. 1.30 dan f. 3.25 per liter. Adanya pasar gelap ini tidak lepas dari peran para penimbun, mulai dari kepala desa, bagian pusat pengumpulan padi, ataupun pusat penggilingan.

    Menurut laporan R. Prawoto, (perwakilan komite untuk wilayah Jakarta, Cirebon, dan Pekalongan) di Pekalongan pola kecurangan terjadi mulai dari pusat pengumpulan padi. Apabila padi sampai ke pusat pengumpulan dalam kondisi lembab, maka akan diambil ‘kelebihan berat’ tersebut hingga 20-30%, kemudian ketika sampai di tempat penggilingan, mereka akan menimbun padi lagi dengan alasan ‘kualitas padi yang buruk’ hingga 10%. Total kecurangan bisa mencapai 60%.

    Kerugian paling besar dirasakan oleh petani, karena selain dia harus memenuhi kuota yang dibebankan kepadanya, uang yang seharusnya diterima olehnya bisa terlambat selama padi belum sampai ke tempat penggilingan. Dan jumlah uang yang diterima juga sebanding dengan jumlah padi yang dicatat di tempat penggilingan. Jumlah uang yang diterima berkisar f.1.88 per quintal, yang mana jumlah ini sangat jauh lebih murah dibandingkan harga beras di pasar gelap.

    Akibat dari masalah-masalah pada pelaksanaan kebijakan tersebut juga berujung masalah baru lainnya. Kurangnya suplai makanan rakyat menyebabkan kondisi kesehatan memburuk. Hal ini diperparah dengan romusha, baik yang bekerja di Jawa maupun di luar Jawa. Bahkan, romusha yang dipekerjakan di luar Jawa ketika kembali ke daerahnya dapat membawa penyakit, seperti penyakit kulit. Kelelahan dan gizi buruk menyebabkan tingkat kematian melebihi tingkat kelahiran (seperti terjadi di Kedu dan Pati). Semangat perang pun menurun, jumlah tenaga kerja untuk kepentingan perang berkurang. Pekerjaan mata-mata musuh menjadi semakin mudah.

    Hatta menyampaikan usul di akhir diskusi Sanyo sebagai jawaban dan masukan untuk Gunseikan, yaitu pola penyelesaian masalah harus dimulai dari bawah ke atas. Jadi, kebutuhan pangan di desa dihitung terlebih dahulu, baru kemudian total produksi yang dikirim ke luar desa dikurangi dengan kebutuhan yang sudah dihitung sebelumnya. Contoh, jika kebutuhan pangan suatu desa 500 kuintal dan hasil panen 1500 kuintal, maka 1000 kuintal itu yang akan dikirim keluar. Ditambah sistem transportasi yang buruk, akan sangat inefisien untuk mengeluarkan padi ke luar desa, dan membagikannya kembali secara tidak merata di setiap kabupaten. Dengan cara ini setiap orang akan menerima jatah yang sama di tiap residen, dan biaya transportasi akan terpotong.

    Berdasarkan kesimpulan Benedict Anderson, terdapat dua hal yang terlihat jelas dalam debat Sanyo Kaigi; yang pertama, para intelektual yang duduk dalam Sanyo Kaigi tidak melihat akar permasalahan kritis di desa-desa sebagai malformasi dalam ekonomi agrikultur, melainkan hanya kondisi sementara akibat perang dan pendudukan. Yang kedua, jurang psikologis dan sosial ekonomi antara kaum intelektual dan para tani semakin terlihat (sejak persidangan Soekarno di Bandung tahun 1930) dan terlihat kecenderungan kaum intelektual untuk memihak pada otoritas yang berlaku.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun