Masyarakat Indonesia tentunyasudah tidak asing lagi dengan kalimat dari Pancasila ke-4, khususnya bagi para pemimpin maupun jajaran dewan kepemerintahan. Yang dimana didalam kalimat sila ke-4 mengandung makna sifat-sifat maupun sikap yabg harus ada pada pemimpin yang amanah, sila ke-4 juga merupakan butiran sila yang membingungkan dani sudut makna maupun kalimatnya yang terlalu panjang.
Sila ini juga membingungkan dalam membaca kata-kata "permusyawaratan/perwakilan" itu. Apakah dengan "permusyawaratan atau perwakilan" atau "permusyawaratan garis miring perwakilan"? Apalagi Orde Baru memperkenalkan singkatan bergaya militer sehingga "garis miring" dibaca "garing". Bayangkan kalau kata itu dibaca: "permusyawaratan garing perwakilan". Aneh tapi benar.
Lalu apa arti tanda "/" itu? Ketika saya mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tingkat nasional pada 1994, saya tak mendapat penjelasan yang tegas dari mentor. Ada pendapat garis miring itu berarti "atau" dan ada yang berpendapat "dan/atau". Wah, yang terakhir ini lagi-lagi ada garing (eh, garis miring) yang biasa dalam bahasa hukum. Jadi, apakah kebijaksanaan yang diambil harus dalam bentuk musyawarah dan perwakilan, atau musyawarah saja dan perwakilan saja sama-sama benar?
Sila keempat ini sekarang kembali disebut-sebut dalam kaitan dengan RUU Pilkada. Koalisi Merah Putih (KMP), yang mengusung pilkada lewat DPRD, menggunakan sila keempat ini sebagai dasar argumentasi. Karena itu, RUU Pilkada disebutnya cermin demokrasi Pancasila.
KMP mau kembali ke Orde Baru. Pada era itu, presiden pun tidak dipilih oleh rakyat. Apakah Soeharto dipilih oleh MPR? Tidak. Soeharto tak mau ada pemilihan. Setelah MPR sah disebut "perwakilan", Soeharto ditunjuk dengan "musyawarah". Dia lalu menunjuk sendiri wakil presiden dan MPR memutuskannya dengan kata sakti: "tercapai musyawarah-mufakat bulat". Tak boleh ada lonjong sedikit pun.
Pernah ada pimpinan partai yang (pura-pura) membelot, yakni Dr. J. Naro. Ketua Umum PPP ini mencalonkan diri (hanya) sebagai wakil presiden. Banyak orang mengira ini akan jadi "sejarah baru", ada pemilihan wakil presiden. Tapi Soeharto kesal dan menjelang MPR melakukan "musyawarah", nama J. Naro tak disebut lagi sebagai calon wakil presiden. Naro cukup puas dengan membuat kartu nama: "mantan calon wakil presiden".
Demikianlah Soeharto memaknai sila keempat Pancasila, persis suara KMP sekarang, meskipun pemilu presiden tak disebut karena masih dalam koridor pilkada. Kira-kira apa yang ada dalam benak Bung Karno ketika melahirkan Pancasila? Bung Karno dalam pidatonya menyebutkan Pancasila digali dari bumi Indonesia.
Dalam kearifan budaya lokal Nusantara, pemimpin memang mengutamakan musyawarah-mufakat lewat perwakilan. Pada masyarakat adat Bali, misalnya, warga berkelompok dalam perwakilan. Perwakilan terendah bernama tempekan, di atas itu banjar, di atasnya lagi desa. Ketua adat, yang disebut bendesa, dalam merumuskan kebijakan cukup bermusyawarah dengan ketua-ketua perwakilan. Dengan demikian, warga tak harus terlibat dalam banyak rapat.
Namun dalam memilih pemimpin dari tingkat terendah sampai tertinggi, rakyat memilih secara langsung. Cara memilih pemimpin seperti ini juga lazim bagi masyarakat adat di luar Bali. Nah, kalau Bung Karno menggali Pancasila dari kearifan budaya lokal ini, mungkin sila keempat dimaksudkan bukan untuk memilih pemimpin. Disebut "mungkin" karena Bung Karno tak bisa lagi diwawancarai, kita hanya bisa belajar dari perjalanan sejarah bangsa.
Dari semua pernyataan maupun pendapat dari para tokoh besar di Indonesia, bisa kita ambil benang merah dari sila ke-4. Yakni, sila ke-4 bisa dimaknai melalui sudut pandang kepemimpinan seorang pemerintah dan juga bisa diartikan melalui sudut pandang dalam menyikapi, melestarikan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal budaya di Indonesia sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H