Mohon tunggu...
Amier Ghere
Amier Ghere Mohon Tunggu... mahasiswa -

utamakan pendidikan untuk kemajuan bangsa dan negara. tuangkan ide dan aspirasi yang ada dalam pikiran kita masing-masing dengan menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ayah, Aku Rindu Suara Radio

4 April 2015   07:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Subuh selalu punya cerita indah jika setiap manusia merelakan diri untuk bangun dari kasur empuknya, berdoa pada Sang Khalik pencipta semesta beserta isinya dan memandang kejadian-kejadian diwaktu subuh. Aku berdiri diluar kost diatas ketinggian, aku menatap yang lebih tinggi, bintang-bintang satu persatu cahayanya redup dicakrawala yang luas membentang, bulan purnama bercahaya sangat terang, tetesan air yang jatuh dari langit menhijaukan pepohonan membasahi bumi yang gersang, dialah embun. Aku memandang sebuah bangunan besar yang tingginya 99 meter dari permukaan laut, gedung yang berdiri kokoh, tinggi menjulang menggapai langit, cahaya lampu warna-warninya sangat indah, tidak hanya indah dimata tapi juga disenangi hati.

Ingin kuceritakan sedikit tentang bangunan yang megah ini. Bangunan yang dinamakan Minaret Islamic Center (IC) ini dibangun dipermukaan tanah dengan ketinggian 99 meter dari permukaan laut. Angka 99 melambangkan asmaul husna (nama-nama Allah dalam islam) dan angka 13 melambangkan jumlah rukun dalam sholat, pintu akses berada pada lantai 13. Gedung ini dibangun oleh pemerintah profinsi NTB sebagai pusat pendidikan Islam.

Tak jenuh-jenuh aku mengagumi dan memuji bangunan megah ini. Gelap masih menemani subuh, orang-orang masih terlelap dalam mimpi yang mungkin indah.. semoga saja...

Aku terdiam mengingat sosok ayah yang kini makin menua, tak ada sedikitpun yang terlupakan tentang ayah. Inilah rasa rindu yang tidak ingin kusembunyikan. Tentang kerinduan pada ayah dan radionya yang ingin kututurkan apa adanya. Aku tiba-tiba merindunkan ayah. Ayahku bukan berpangkat bukan pula berharta. Ayahku hanyalah lelaki berusia 63 tahun yang selalu hidup dengan radio mininya. Radio yang sumber tegangannya dari batu baterai bervoltase 3 volt berjumlah 4 buah yang bisa bikin ayah ku terhibur disetiap waktu luangnya. Radio yang dengan ferkuensi tertentu setiap subuh melantunkan pengajian, dan ceramah islam. Diwaktu pagi akan ada berita pagi demikian dengan dengan waktu siang dan malam selalu saja ayah dan radionya yang menjadi topik perhatianku. Apa yang dialakukan ayah? Apakah ayah tak jenuh setiap hari dengan radionya itu? Pertanyaan anak kecil yang tidak perlu dijawab tapi ayah menjelaskan padaku. Dengan radio yang kamu lihat seperti mainanmu ini ayah bisa mendengar, membaca, merasakan, dan mereka-reka kejadian-kejadian dan peristiwa di negara ini. Aku masih juga belum mengerti penjelasan ayah waktu itu. Ayah tidak pernah melewatkan berita apapun yang diaudiokan oleh radionya. Tidak heran jika ayah lebih dahulu mengetahui peristiwa dibangsa ini dibandingkan dengan orang lain. Ayah merasakan kesengsaraan orang-orang tidak beratap seng atau genting yang memilih kolong jembatan untuk melindungi tubuh mereka yang tidak bergizi. Ayah memprihatinkan para koruptor bangsa ini yang mengguras uang rakyat dengan mengandalkan jabatannya. Ayah mereka-reka kemangan partai politik pada setiap pilkada. Ayah tidak pernah kehilangan berita apapun tentang negeri ini. Selalu mengais informasi lewat radionya.

Ayah selalu saja mengatakan padaku bahwa banyak-banyaklah mendengar, kamu akan merasakan apa yang dirasakan orang lain lewat tuturan kata dan kalimat yang keluar dari mulutnya. Ada hikmah yang bisa kamu petik dari aktivitas mendengarkan orang lain. Ayah, kini anakmu ini telah mengerti apa yang telah ayah ajarkan, dari aktivitas ayah yang selalu memilih radio sebagai teman hidup, dari cara ayah mendengarkan perkataan orang lain. Kadang ayah melarang kami ribut ketika ayah sedang asyik mendengar berita yang menegangkan, ayah juga mengabaikan segelas kopi buatan mama yang dibuat dengan cintanya. Mendengarkan berita adalah hidupnya dan radio adalah kekasih ayah. Tiada hari tanpa mendengar radio. Menurut ayah, pengetahuan itu bisa didapatkan dari mana saja dan dari berbagia sumber. Salah satunya adalahdari sumber suara radio ini. Komposisi paling banyak dalam keseharian ayah adalah mendengarkan radio. Diwaktu subuh, pagi, siang, petang, malam sebelum tidur, dan setelah bangun dari tidurnya selalu saja kami dibisingkan oleh kegiatan ayah yang unik itu.

“ berita hari ini, harga BBM meningkat naik hingga menjadi Rp 6.700, 00” heheheh contoh isi beritanya. Ayah telah menanam pengetahuan yang banyak untukku dan keluarga. Dari aktivitasnya yang unik, aku mendapat pelajaran yang sangat berharga.

Tanpa terasa, aku merasa hampir mengeluarkan air mata saat mengingat ayah dan radionya yang jauh disana, dipulau asal Alor-NTT. Aku merindukan ayah. Ingin mendengar berita diradio bersama ayah. Terakhir aku mendengar radio ayah saat liburan lebaran dua tahun yang lalu dan subuh ini aku merindukan nyayian ayat-ayat suci alquran yang dilantunkan oleh radio ayah. Aku tidak merasa terganggu lagi diwaktu subuh karena suara radio ayah tapi saat ini aku sangat merindukanya.

Ketika berbicara lewat telpon, terkadang ayah sering mendiskusikan dengan ku tentang berita tanah airdan sistemnya yang arahnya tak terjalur. Dia bersemangat sekali saat berdiskusi dengan ku, bahkan sampai lupa dengan omelan mama yang dari tadi menunggu untuk berbicara dengan ku lewat telpon. Ayah adalah guru dirumahku, pahlawan disetiap keresahanku, menjadi payung ketika aku dihujani masalah. Tetes keringatnya karena mencari kepingan rizki adalah untuk kehidupan ku hari ini dan masa depanku.

Ya Rabbi, teguhkan hati kami dalam mnjelajahi ilmu, mencari ilmu, dan berkhidmad diatas ilmu yang telah kami cari, dan mewariskan lagi kepada generasi-generasi kami yang akan datang seperti budaya mendengarkan orang lain yang telah diwariskan ayah pada kami. Suatu warisan kebijakan yang tak ternilai harganya.

04 April 2015

Diwaktu subuh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun