Mohon tunggu...
emi el zuhry
emi el zuhry Mohon Tunggu... mahasiswa -

seorang yang masih belum bisa dan punya keinginan untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penghuni Pertama

2 Januari 2011   02:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:03 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mungkin gara-gara gak nurut kali ya, makanya jalanku gak mulus semulus kulit yang tiap hari diolesi pelembab. Rasanya ada saja kerikil yang menghalangi . untung baru kerikil, coba kalau jurang. Ah. sudah mati aku.

Udah dibilang jangan pergi aku malah pergi. Maaf Bu, bukan maksudku. Aku hanya ikuti apa kata hatiku. “Kalau kau ingin merubah desa ini maka jadilah orang besar.” kaalimat it terus terngiang di benakku, menjadi cambuk yang terus memicu.

Just follow the river” aku ingat betul kalimat itu. Seorang teman pernah mengucapkannya padaku. Tak usah terlalu dijadikan beban, biarkan saja mengalir, sampai kemudian air itu membawamu ke sebuah muara. Dan benar, ‘just follow the river’ itu lebih baik. Kemana hatiku berbisik, kesitu aku pergi. Seperti sebuah ilham, begitu saja datang. Dan nama 'Pare' tiba-tiba terbesit. Ya. seperti sebuah Ilham, dan aku terdorong untuk ke sana.

Bukannya skripsimu belum kelar fit? hatiku mengingatkan.

Ah. Masa bodoh dengan skripsi. Aku ingin bebas barang cuma sebentar. yang diingatkan gak mau nurut.

“Pak… ke Daffodils ya..” Ucapku pada tukang becak yang sepertinya sudah lama stand bay di pertigaan, tepat di posisi pertama kali aku turun dari bus. Sebenarnya ada banyak becak di sana. Tapi kebetulan saja becak ini pas tepat di depanku.

“Berapa pak?”

“Sepuluh ribu aja Mbak.” ucap Bapak itu yang kelihatannya masih berfikir. Aku bisa baca raut mukanya. Itu pasti bukan harga sebenarnya. Dia pikir aku gak tahu harga pasarannya. 10000? Kemahalan kali pak… tapi aku masih jaga image untuk mengucapkan unek-unekku.

"Lima ribu aja ya pak.” kujatuhkan aja sekalian

“Wah kalo segitu gak bisa mbak.” sudah kuduga bapak itu akan jawab demikian

“Yaudah, Pak. pasnya berapa?” langsung to the point aja aku

“Tujuh ribu deh, mbak.”

Mbok ya dari tadi bilang 7000. Pake dimahalin segala lagi, mentang-mentang aku orang baru. Belum tahu ya... kalo aku sudah mengumpulkan banyak info sebelum ke sini. Mulai dari bus jurusan apa, turun mana saja, lalu naik angkot apa, ongkosnya habis berapa, tempat kursusnya dimana, harganya berapa, de el el.

Bapak tukang becak mulai mengayuh

“Daffodil yang mana ya, Mbak?”

Ups..!! Emang Daffodils gak cuma satu, ya. Waduh..! gawat nic, aku kan gak tahu menahu daerah sini. Daffodils aja baru dengar kemarin dari temen, itupun sekedar nama, pas aku tanya dimana, dia bilang, “pokonya ntar tanya aja ma tukang becak. Mereka semua pasti tahu.”

Piye ki? duh….

“Umm… kurang tahu ya pak.”

Malu banget aku dengan jawaban bodohku. Kelihatan banget kalo gak pernah ke sini. Kalo disasarin sama bapak ini gimana. siapa ntar yang nolongin. Kok tadi gak sok tahu aja. Gimana mau sok tahu, orang akunya juga gak tahu apa-apa. malah jadi tambah o on ntar. Disasarin mampus deh loe….

“Lho kok bisa? mbak baru pertama ke sini ya?”

Hatiku terus diselimuti kebimbangan.

“Iya Pak. Saya Cuma dikasih tahu temen, pokoknya daffodils tempat kursusan bahasa inggris itu lho, pak. Masa bapak gak tahu sih.”

“O… itu. Daffodils yang di tengah-tengah sawah itu kan?”

Uh, dibilang aku gak pernah ke sini malah tanya lagi.

“Ya kali pak, saya juga gak tahu Daffodils dimana.”

Tanang, tenang. Kamu pasti sampai… batinku, meskipun sebenarnya hatiku gusar.

Kupikir Daffodils tidak begitu jauh dari jalan. Ternyata…. Uh. Udah berapa belokan sudah kulewati. Jalannya….. Ya ampunn…. bergeronjal-geronjal, entah pemerintah pake apaan buat bangun ne aspal. Habis melewati banyak tempat kursusan dan rumah-rumah, masih harus melewati sawah-sawah.

Ih. pelosok banget.

“Mbak.. Udah sampai.”

Mataku menerawang ke depan. ada lapangan dan hamparan sawah yang amat luas. Sepi. Masa kursusan terkenal ada di pelosok sawah kayak gini. Pikirku. Janga-jangan.. oh tidak.

Aku baru tenang saat kulihat tulisan besar terpampang di atas genteng sebuah bangunan tidak jauh di depanku, “DAFFODILS”. Oh. Untunglah aku gak disasarin

“Makasih ya Pak..” becak itu berlalu

Aku masuk ke sebuah ruangan kecil yang kuyakini adalah tempat pendaftaran, soalnya di situ tertulis kata ‘office’. Aku bertemu dengan seorang perempuan, mis Mita namanya. Rambutnya dipotong pendek, pakai celana jeans dan kaos oblong, untung dia pake anting, kalau gak, bisa kupanggil ‘mas’ mungkin. Zaman sekarang semua serba terbalik. istri ke Arab cari nafkah, suami yang di rumah ngurus anak. harapan awal bisa mengubah nasib, yang diharap malah terbalik. Pas pulang, istri malah menemukan suami sudah punya pasangan lain. Istri shock, lalu minta cerai. Uang kirimannya habis buat istri baru. istri lama pergi ke jmbatan Semampir untuk cari hiburan. awalnya sekadar pelarian, lama-lama jadi ketagihan, jadi jajanan lelaki hidung belang.

La kok malah kebablasan.

“Mau level yang mana mbak?” tanya mis Mita

“Mmmm… emang ada level apa aja mbak?”

Kuperhatikan selembar kertas berwarna kuning di depanku, stepping stone, stepping one, pronouncation, stepping two, dan terakhir stepping three. aku gak ngerti apa maksudnya stepping-stepping itu. Maklum orang udik.

“kalau stepping stone itu paling dasar mulai dari belajar tentang abjad A B C D, kalau stepping one bagi yang sudah punya dasar. Di sini sudah diajari conversation, perkenalan, greeting, dll. kalau stepping two, itu untuk yang sudah expert.”

Yap. Aku tahu apa yang harus kuambil.

***

Ups…!!! La kosnya??? aku kan belum ada tempat kos. piye ki jal? sendirian lagi. kenapa tadi gak mampir ke kos temenku dulu ya. huh. kalao kayak gini gimana. Udah di pelosok, tengah sawah, sendiri, gak ada kendaraan, mau maghrib. haduh. pikiranku buntu.

aku pergi berbalik dari bangunan itu. tak jauh di depanku tepat di seberang jalan, ada sebuah rumah. model bangunannya seperti rumah penduduk biasa, tidak ada ciri-ciri kos-kosan. Tapi mana tahu.

Aku mendekati rumah tua itu.

Oh. Mampus !!! ‘TERIMA KOS PUTRA’ terpampang jelas di depan.

Gimana nih kalo gak dapet kos, bisa jadi gelandangan aku.

aku jalan terus ke arah utara, berharab menemukan tempat tinggal barang untuk semalam.

***

“Assalamualaiku pak..”

“Waalaikum salam.”

“Terima kos putri ga pak?”

“Wah di sini kos putra mbak…”

Haduh… aku Cuma bisa menghela nafas panjang.

“Emang di sebelah gak nerima kos po mbak.” tanya si bapak

“Tulisannya kos putra e, Pak.”

“Dicoba dulu aja mbak. belum tentu lho. soalnya di sana masih kosong. kalau ada yang masuk mungkin diterima, gak harus cowok.”

“oh, gitu ya pak. ya sudah saya lihat dulu.”

Entahlah. firasatku bilang ada yang gak bener. masak tulisan kos putra bisa nerima anak cewek.

“Mari saya antar, mbak. Ntar kalo emang gak bisa saya antarkan ke yang lain.”

Aku jadi gak enak. Ne bapak baik banget.

***

“200 ribu per bulan, Mbak.”

“gak bisa kurang Bu?”

Sebenarnya sudah cukup murah menurutku, dibandingin di Jogja bisa dua ratusan lebih, apalagi hitungan per bulan, lengkap dengan kasur, lemari, plus meja lagi. Cuma aku pura-pura nawar aja, sapa tahu boleh, itung-itung bisa turun 50 ribu kan lumayan.

“Wah.. itu sudah cukup murah mbak, kalo yang lain bisa 500 ribuan satu kamar.”

Woww !!! mahal banget. kampung pelosok kayak gini ko semahal itu. Di Jogja aja paling mentok tiga ratus per bulan. lha ini… udah pelosok, tengah sawah, sunyi senyap dan asri kok malah jauh lebih mahal.

****

Malam menjelang, Langit tertutup awan, guntur mulai menggelegar, rintik-rintik hujan mulai turun. makin lama makin deras. hembusan angin turut nimbrung, suasana makin mencekam. dingin. itu yang kurasakan sejak maghrib datang.

Ya ampunn… Aku baru sadar. Ada yang salah denganku. Ada yang salah dengan kosan ini. Ada yang salah dengan malam ini.

Astaga….!!! Akukan penghuni pertama? berarti? aku sendirian donk....

Dan tiba-tiba ....

“Gludak… gludak…!”

Waduh..!!! Suara apa lagi tuh?

Seperti ada yang sedang lari-lari di atas, tepat di langit-langit kamar. kutengok HP-ku. jam menunjukkan pukul dua belas, suara geludak itu semakin keras.

Oh My God… bless me, please…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun