Kemarin pagi(15/7), saya oleh Allah ditunjukkan suatu proses penggalian hikmah dari suatu peristiwa di tengah perjalanan mengambil pesanan mushaf AL-Qur’an Tadabbur Maiyah Padhangmbulan di Sidoarjo.
Pada suatu perempatan lampu merah, di pojokan tampak seorang badut yang dari lagaknya ingin menghibur para penggendara yang sedang berhenti pada saat lampu merah.
Keputusan membadut dan berjoget menurut saya suatu inisiatif yang tepat dan bijak. Walaupun tidak semua mau dan siap melakukan hal itu. Keputusan menghibur para pengendara itu merupakan laku untuk membangkitkan rasa manusia masing-masing pengendara. Mengingatkan kembali bahwa kita bukan hanya bagian kecil dari suatu sistem kerja modern yang menuntut kita serba cepat, produktif dan tertib.
Meskipun ketiga hal itu tidak salah jika dilakukan dengan keadaan sadar tanpa paksaan. Tergantung porsi dan tingkat kebijaksanaan tujuannya dalam melakukan hal itu.
Kita bisa saja melanggar nilai kemanusiaan jika tiga etos kerja itu kita implementasikan pada suatu pekerjaan yang melanggar nilai kemanusiaan. Misalnya bergerak cepat ketika ada peluang menipu, sehingga harus produktif dan total melakukan hal itu supaya hasilnya maksimal. Tentunya harus tertib supaya penipuan yang kita lakukan tidak berbuah petaka bagi kita—dan bagi orang yang mulai menyadari bahwa kita menipu.
Bapak badut itu menurut saya mendapat pahala akhirat yang sekaligus dunia langsung. Beliau mengesampingkan wajah manusianya dengan menyulap dirinya berpakaian dan bertampang badut. Demi untuk menghibur pengendara yang mungkin saja sedang suntuk melakukan aktivitas harian yang dirasa kurang manusiawi, atau mengikis nilai-nilai kemanusiaannya. Tapi mau melawan ya ndak bisa. Karena kita sedang berada pada suatu sistem yang saling terkait pada kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Kita menolak sistem sama saja kita menyediakan diri hidup menderita.
Walaupun penderitaan itu penting—pada kadar yang pas, untuk membangkitkan dan mengutuhkan nilai kemanusiaan kita.
Salah satu tanda bangkitnya rasa kemanusiaan kita adalah senyum, tertawa dan gembira. Kesuntukan itu produk dari degradasi nilai kemanusiaan. Maka untuk mengembalikan rasa kemanusiaan, era modern ini menyediakan banyak tempat hiburan yang beraneka macam. Untuk mengespresikan jiwa terdalam yang selama ini kesepian dan jarang diperhatikan.
Maka bapak badut adalah pahlawan kemanusiaan yang hanya menanti imbal balik uang receh—yang dikumpulkan dengan telaten, untuk menghidupi anak dan istrinya di rumah.
Bapak badut itu serius melucukan dirinya supaya siapa saja yang memperhatikan sambil menunggu lampu hijau, merasa terhibur. Senyum di tengah menjalani hari minimal menyumbang dampak psikologi yang baik bagi keberlangsungan hidup dirinya di rentang waktu yang panjang. Belum lagi kalau gembira dan bahagianya, bakal terang dan lurus jalan hidup kita ke depan.
Maka keseriusan melucu itu bukan sekedar hiburan, melainkan pejuang nilai kemanusiaan. Sebab pada hal yang remeh terdapat hikmah yang bisa kita petik dalam perenungan untuk keberlangsungan hidup kita di masa mendatang.