Mohon tunggu...
Yusron Aminulloh
Yusron Aminulloh Mohon Tunggu... -

Trainer "Menebar Energi Positif" Training Center

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangga Atas Kesalahan

18 September 2015   07:07 Diperbarui: 18 September 2015   07:26 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Catatan (2) : Anak-anak Jangan Dibebani Obsesi Orang Tua

Hampir semua orangtua yang bertemu saya di berbagai daerah, membanggakan anak-anaknya. Dan itu wajar dan manusiawi. Cuma ada yang bangganya adalah sebuah yang harus dibanggakan, namun ada yang membanggakan sebuah yang seharunya menjadi keprihatinan.

“Waduh pak, anak saya full sehari. Pulang sekolah jam 2, istirahat sebentar langsung ikut Bimbel, sore pulang langsung ngaji. Jadi maghrib baru berhenti. Malam saya ajak belajar sudah ngantuk. Tetapi karena pinter wajib, ya saya ajari meskipun ngantuk-ngantuk.” Ujar seorang Ibu, sebut saja namanya bu Fulan.

Seorang ibu lain berucap. “ Kalau anak saya pulang sekolah jam 10.00 (TK) , saya masih bisa pak masak, cuci. Anak saya diam dan tenang di rumah meskipun saya sambi mengerjakan pekerjaan rumah, “ tutur Bu Fulin .

“Hebat dong anak ibu. Tidur, apa baca, apa sambil main ?” tanya saya.
“Saya belikan gadget pak. Main game, kayaknya. Diam dan seru sampai ketawa ketawa dan teriak sediri.”

Dikesempatan lain, seorang ibu mengeluh.
“Anak saya pak. Susah di rumah. Pulang sekolah langsung main sama teman-temannya. Naik sepeda, main dolan dolanan anak itu, kadang bajunya kotor sekali kena tanah, saat pulang,” papar Bu Falin.
“Tapi mau belajar dan ngaji bu ?” tanya saya.
“Ya kalau sore ya ngaji pak di TPA, habis maghrib belajar sama saya .”
“Terus apa yang digelisahkan bu ? “
“Mainnya itu lho pak. Masih kelas 3 SD sudah kalau main sampai badannya hitam. Suka loncat2 dan main sepeda keliling kampung,”

DIALOG dan ungkapan beberapa orang tua diatas menjadi cermin kita. Saya yakin kebanyakan orang tua bangga dan membenarkan apa yang dilakukan dan dibanggakan Bu Fulan. Bahwa anak yang sibuk sekolah, les, adalah benar. Dan seolah menjadi kewajiban anak modern.

Demikian juga yang dilakukan bu Fulin. Ibu ini merasa tetap menjadi ibu rumah tangga yang baik karena bisa mencuci, memasak, sedangkan anaknya dibiarkan asyik main gadget. Seolah tidak ada persoalan. Sedangkan bu Falin yang gelisah karena anaknya main saja diluar, apakah benar apa salah ? Mari kita baca perlahan.

Pertama, zaman ini telah mengajarkan kesalahan orang tua yang memiliki obsesi besar pada anaknya. Bahwa anaknya harus pinter, ranking satu, maka segala cara dilakukan orangtua. Maka, habis sekolah yang sudah capai, anak disambut dengan bimbel (bimbingan belajar). Sepulang bimbel tidak ada waktu istirahat, anak langsung ngaji hingga maghrib. Meski kadang gak sempat ngaji karena padatnya jadwal bimbel.

Pertanyaanya, betulkan perilaku ini ? Betulkah anak zaman ini harus seperti itu ? Adakah jaminan mereka akan menjadi manusia hebat saat dewasa nanti kalau ritme hidup hariannya seperti itu ? Sejumlah pertanyaan lain banyak mengikuti. Tapi saya pribadi tidak sependapat dengan langkah ini. Karena anak harus diberi waktu untuk main, menemukan dunianya. Belajar, apalagi bimbel bukan jawaban masa depan, tapi jawaban atas masalah jangka pendek.
Saya pribadi memilih (orang lain berhak berbeda pendapat), anak saya tidak saya dorong menjadi juara, menjadi pintar, menduduki ranking. Tetapi mereka hilangkan dirinya, kekuatan didalam dirinya “dihabiskan” oleh kekuatan dariluar yang bernama bimbingan belajar dan semacamnya. Bahkan dia bersama keluarga hanya membawa “sisa sisa” energy yang dimiliki karena habis diluar rumah dalam peran sebagai botol kosong yang diisi.

Kedua, banyak orang tua yang memiliki kebanggaan artisial. Seolah sukses, tetapi sebenarnya dia hanya mengalihkan problema dirinya ke problema anaknya. Seperti yang dialami bu Fulin. Kayaknya, anaknya tidak problem dan menganggu ibunya yang masak dan mencuci, tetapi anaknya ternyata dikasih gadget yang sebenarnya sedang membunuh syaraf-syarat kecerdasan anak.
Anak usia TK seharunya justru motoric halus dan kasarnya diasah dengan ragam permainan. Namun bukan gadget. Ketenangan anak itu karena ia terbius oleh game yang ia mainkan, atau gambar gambar binatang, tumbuhan dan mainan yang menyenangkan, tetapi ia tidak menyentuh dan berpelukan dengan mainan itu. Peran boneka, diganti oleh gambar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun