Mohon tunggu...
Yusron Aminulloh
Yusron Aminulloh Mohon Tunggu... -

Trainer "Menebar Energi Positif" Training Center

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bertemunya Dua Simpul Literasi

24 Juni 2014   15:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:21 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BANYAK orang dalam kesadaran tertentu, meski belum melakukan banyak hal, tapi merasa sudah melakukan banyak hal. Sementara ada sekolompok yang lain sudah “berdarah-darah” melakukan banyak hal, tetapi dalam kesadaran yang dalam, mereka merasa belum melakukan banyak hal. Itulah namanya relafitas.

Demikian juga di dunia gerakan literasi. Banyak kawan yang masih pada dataran konsep, tetapi sudah merasa sudah melakukan. Sementara ada kawan lain yang sudah punya “laku”, gerakan, langkah, tetapi merasa masih kurang dan terus meningkatkan diri. Namun, dalam pandangan ilmu energy positif yang saya yakini, keduanya tidak boleh dipertentangkan. Karena dua sisi itu punya kemuliaan yang sama tetapi berbeda, berbeda tapi sama.

Kalau memakai frame jurnalistik, ada dua pandangan.Yakni Fakta psikologis dan fakta sosiologis. Fakta psikologis ini dalam dunia jurnalitik adalah pendapat, ide dan gagasan. Sementara fakta sosiologis itu adalah fakta, kejadian, langkah. Skor kualitatifnya : Fakta psikologis 30 persen dan fakta sosiologis 70 persen.

Namun era reformasi, media kita lebih mengutamakan fakta psikologis dibanding fakta sosiologis. Bahkan kebebasan pers kemudian “menggadaikan” fakta. DImana mengangkat fakta sosiologis tetapi dasarnya bukan investigasi, tetapi dasarnya pendapat orang lain. Jadinya ada kerancuan dan menjadikan kualitas media sekarang pada titik nadir.

Gerakan Literasi

Atas dasar realitas itulah, pekan lalu, saya sebagai pendiri Rumah Belajar MEP, mencoba mempertemukan dua simpul yang bergerak di dunia literasi pada dataran yang berbeda. Pada satu sisi saya undang kawan kawan dari perguruan tinggi, khususnya UNESA Surabaya, dan saya juga undang para pustakawan, dan penggerak taman bacaan masyarakat.

Tajuknya bedah buku BOOM LITERASI yang ditulis oleh sejumlah Guru besar, Dosen dan Alumnus UNESA dari berbagai profesi. Sebuah buku yang menarik, karena berisi ragam warna tulisan dengan sudut pandang yang mozaik. Mewakali para penuilis dan sekaliguseditornya Moch Khoiri, Suhartoko dan Eko Prasetyo hadir mempresentasikan.

“Mengapa menggunakan judul BOOM LITERASI ?”

jawab mereka tegas dan tajam. “ Judul ini diharapkan menjadi upaya pengembangan literasi agar jangan sampai setengah setengah. Dengan munculnya kata BOOM diharapkan agar ada gerakan dahsyat yang mampu membuat gaung literasi disebar ke berbagai penjuru lewat hulu ledaknya yang luar biasa.”

Bahkan, Eko Prasetyo menyebut, 16 laskar literasi yang menulis dalam buku ini, mereka bukan sekadar pendongeng atau orator yang lagi kampanye literasi, tetapi mereka menceritakan pengalaman empiris mereka dalam berjibaku dalam dunia literasi, baik lewat budaya tutur, baca apalagi menulis.

Sebuah presentasi menarik untuk ditarik dalam frame, apakah yang dilakukan oleh kawan kawan UNESA ini masuk kategori fakta psikologis apa fakta sosiologis ? Tentu perpaduan diantara keduanya.

Sementara, Mas Wibowo Pustakawan dari Surabaya dan Bunda Cut Tuga, penggerak Taman Bacaan Masyarakat dari Tulungagung, punya cerita yang berbeda, bagaimana tidak mudahnya “menggerakkan” masyarakat untuk mau membaca. Karena kalau membaca saja tidak mau, apalagi menulis.

Maka, kerja kerasnya dengan banyak kawan di perpustakaan Surabaya, mas Bowo bisa “melahirkan” 400 Taman Bacaan. Yang kalau dihitung setiap Taman Bacaan anggotanya 100 orang bulan membaca, maka mas Bowo sudah mendidik 4 ribu masyarakat untuk membaca setiap bulannya. Sebuah langkah empiris yang menarik dan inspiratif.

Bahkan berkat bacaan, sebuah kampung di Surabaya, ibu ibunya sering kumpul di Taman Bacaan akhirnya berubah dari kampung “mati” menjadi kampung produktif tatkala ada pelatihan dari buku yang dibaca soal kue basah. Setahun kemudian kampung ini terkenal sebagai sentra kampung penjual kue basah. Sebuah gerakan literasi yang kemudian melahirkan gerakan ekonomi.

Lain lagi yang dilakukan Bunda Cut Tuga. Setiap minggu pagi, menggelar tikar dan karpet di alun alun Tulungagung dan memajang buku untuk dibaca. Awalnya hanya satu dua anak dan ibu yang dibaca. Sekarang sudah puluhan, bahkan sudah merembet cara yang sama dilakukan aktivis TBM di Jombang, Blitar dan lainnya. Bunda Cut dengan tertatih tatih juga menerbitkan buku karya mereka mereka yang ikut pelatihan menulis.

Alhamdulillah saya sering mengunjungi banyak sahabat yang terus bergerak di dunia literasi.Saya jumpai bu Yanti dengan Evergren-nya di Jambi, yang melatih dan mendidik ibu ibu dan anak anak menjadi penulis, Kang Mushin Kalida dan Bu Heny di Yogya, bu Heni di Bandung, bu Fitri di Samarinda, kang Agus R Ikham di Kendal, mas David di Papua, pak Yopie di Jakarta, mas Gong di Banten dan puluhan kawan lainnya.

Kesimpulannya, gerakan literasi adalah paduan cantik dari simpul simpul yang berbeda.Tidak boleh saling menihilkan dan meniadakan. Tidak boleh merasa sudah, harus merasa kurang dan kurang. Yang dari kampus jangan merasa dari Menara Kading, yang dilapangan akar rumput jangan merasa kecil dan tak berarti. Karena semua punya peran sesuai zaman, lokasi dan kondisi masing masing.

Salam Literasi.

Jombang, 23 Juni 2014

(Catatan Yusron Aminulloh, dari acara bedah buku BOOM LITERASI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun