Diajarkan di Sekolah-sekolah
Oleh aminuddin
MENGGALI kembali Naskah Ulu iba rat menelusuri jejak yang samar. Pasalnya, Serat kuno peninggalan masyarakat bagian ulu Sungai Musi ini tercecer di masyarakat dan di luar negeri.Â
Bahkan sering kali naskah beraksara Kaganga ditemukan dalam keadaan sepenggal-sepenggal hingga sulit diketahui isinya.Â
"Ketiadaan dana dan hilangnya generasi yang mampu membacanya ikut mempersulit upaya untuk mendalaminya, " kata Rafanie Igama, sejarahwan dan budayawan Sumsel, peraih Anugerah Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2016 untuk Kategori Pelestari.Â
Jolma komering kelahiran Desa Campangtiga, OKU Timur, Sumsel, 23 Maret 1964 ini mengatakan betapa masih sedikitnya orang di Indonesia yang peduli pada aksara Kaganga.Â
Pada saat ini peninggalan benda budaya (artefak) tradisi menulis dengan Aksara Ulu berupa prasasti dan naskah kuno (manuskrip) yang terdapat pada bilah-bilah bambu (gelumpay), kulit kayu (kaghas), gelondong bambu (surat boloh), tanduk kerbau dan sebagainya.Â
Kenapa harus dilestarikan?Â
Manuskrip adalah produk budaya nenek moyang kita. Sebagai cara terbaik kita mencari jati diri (identitas) adalah melihat rekam jejak budaya nenek moyang kita.Â
Oleh karena itu manuskrip harus dilestarikan. Saat ini manuskrip berupa naskah-naskah kuno Indonesia, khususnya Sumsel, terancam punah, karena bahan naskah pada umumnya rentan terhadap kerusakan dan mudah hilang.Â
"Selain itu banyak bangsa-bangsa di dunia ini yang memiliki tradisi tulis. Nenek moyang Sumsel memiliki tradisi tulis, salah satunya, adalah tradisi menulis dengan aksara Ulu (aksara Ka-ga-nga) yang dikenal sebagai tradisi Surat Ulu, " kata Rafanie.Â