Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pelestarian Budaya dalam Timbangan Anggaran

21 Februari 2023   11:14 Diperbarui: 23 Februari 2023   09:51 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penggusuran bangunan tua (Photo: Stefan Schweihofer, pixabay.com)

Dalam praktik perencanaan, nilai ekonomi dari sebuah investasi sering menjadi penentu akhir apakah sebuah proposal akan berlanjut sampai ke tahap implementasi atau berhenti sampai titik curah pendapat dan kompetisi pandangan.

Pendekatan ekonomi menempatkan rasio (nisbah) antara masukan dan keluaran sebagai cara untuk mengukur kelayakan sebuah pembiayaan. Semakin besar nilai sebuah keluaran dibanding nilai masukan maka semakin layaklah sebuah pengeluaran dilakukan, tentu dengan memasukkan peubah (variable) waktu di dalamnya.

Dengan perspektif demikian, dapat dipahami betapa sulitnya untuk melakukan penataan sebuah situs sejarah di sebuah wilayah yang sumberdayanya diharapkan dari sektor publik, baca pemerintah.

Dalam bahasa publik, ungkapan ini muncul dalam bentuk ungkapan rendahnya kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap upaya pelestarian cagar budaya. Rasionalnya, kalau tidak menguntungkan siapa yang peduli?

Rasionalitas yang diterapkan dalam administrasi sektor publik menjadi pintu masuk kalau upaya pelestarian warisan budaya suatu komunitas diharapkan juga menjadi agenda publik terutama pada tahapan pengalokasian sumber daya.

Pertanyaannya kemudian adalah:

Benarkah pelestarian warisan budaya tidak rasional dalam perspektif pemanfaatan sumberdaya publik?

Warisan budaya dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi ekonomi sebagai penyedia efek pengganda (multiplier effect) dan peluang lapangan kerja sedangkan dari sudut pandang kemanfaatan sosial dapat dilihat sebagai peningkatan wisata budaya yang selanjutnya akan mendorong kesejahteraan masyarakat dan fungsi pendidikan.

David Throsby dalam Hutter et.al (Ed) Economic Perspective on Cultural Heritage (1997) memetakan bahwa paling tidak ada 7 pertanyaan yang harus dijawab seputar penanganan warisan budaya dalam perspektif ekonomi yaitu (1) apa itu warisan (budaya), (2) berapa nilainya, (3) kenapa pemerintah harus menanganinya, (4) apa instrumen yang tersedia untuk menanganinya, (5) siapa yang akan menerima manfaat, (6) siapa yang membayar dan (7) siapa yang peduli?

Beberapa pertanyaan di atas relatif mudah untuk dijawab, namun perhitungan ekonomi atau keuangan akan menemui kerumitan ketika pertanyaan diarahkan ke berapa nilai, siapa penerima manfaat, dan siapa yang harus membayar untuk pelestarian warisan budaya.

Nampak mudah menjawab pertanyaan berapa nilai dari sebuah warisan budaya, namun pada praktiknya ketika dilakukan valuasi maka terdapat beragam cara menghitung yang sayangnya belum tentu satu pun dapat berterima umum. Siapa yang peduli?

Dapatkan anda menilai secara obyektif berapa rupiah nilai dari sebuah kebanggaan akan sebuah alat makan berbahan perak dari jaman Sriwijaya misalnya? Nilai bahannya mungkin mudah, tapi nilai sejarah yang melekat pada bendanya?

Umumnya upaya menjawab pertanyaan semacam ini akan dibawa ke ranah emosional seperti kebanggaan, identitas, memori dan sejenisnya yang sulit dinilai rasionalitasnya sehingga sering dirangkum dalam kalimat tak ternilai, misalnya!

Pendekatan ekonomi pelestarian budaya karenanya akan diwajibkan untuk menghormati kepakaran para ahli di bidang-bidang yang menjadi obyek pengkajian valuasi. Menilai apakah sebuah lukisan repro, karena alasan kerentanan dan terbatasnya lukisan asli, sama kualitasnya atau nilainya dengan lukisan asli tentu merupakan domain kurator atau kritikus lukisan. 

Sebuah tenun yang diproduksi dengan teknik modern tapi tetap mempertahankan kualitas bahan dan motif aslinya apakah sama nilai valuasinya dengan tenun yang diproduksi secara tradisional juga merupakan contoh betapa penilaian tidak bisa dilakukan dengan sepihak.

Beragamnya artefak kebudayaan suatu komunitas, bervariasinya pendekatan penentuan valuasinya merupakan dimensi pendekatan yang ketika disatukan dengan dimensi konten (isi, nilai dan kemanfaatan) sering membawa rasa frustasi ketika hendak disatukan secara utuh dalam kerangka kelembagaan.

Penganggaran merupakan salah satu bentuk kelembagaan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Sebagai bentuk pemanfaatan sumberdaya publik maka setiap bentuk dan besar penggunaannya diwajibkan untuk menyertakan indikator-indikator yang memungkinkan aspek akuntabilitas terpenuhi.

Ketika akuntabilitas publik dirinci lebih jauh, maka kita akan menemukan aspek efisiensi, efektifitas dan ekonomis dalam proses pengalokasian, penggunaan dan pertanggungjawabannya. Apa yang menjadi virtue yang melekat (atau dipandang melekat) pada setiap obyek kebudayaan dalam pandangan budayawan, seniman, sejarawan dan lain-lain yang bukan ahli dalam bidang ekonomi atau administrasi pemerintahan seringkali sulit dijembatani secara mulus menjadi bahasa ekonomi atau penganggaran.

Restorasi sebuah peninggalan istana kerajaan yang melapuk dan diambang keruntuhan misalnya. Mendefinisikannya sebagai barang publik (public goods) sudah membutuhkan waktu yang banyak agar dapat berterima publik.

Jangan lupakan bahwa frasa publik dalam konteks ini akan mencakup beragam segmen masyarakat dengan variasi kepentingan dan preferensi masing-masing, yang semuanya akan berebut menjadi prioritas dalam pengalokasian sumber daya yang diyakini terbatas.

Setelah disepakati sebagai barang publik, lalu cobalah mengujinya dengan pertanyaan mana yang lebih penting antara restorasi bangunan tua dengan instalasi pengolahan limbah perkotaan? Kerumitan melakukan valuasi lah terkadang yang menyebabkan upaya tersebut cenderung dihindari.

Pertanyaan seperti ini tentu saja tidak akan muncul kalau kapasitas keuangan pemerintah tidak terbatas. Faktanya kapasitas keuangan selalu dalam kondisi terbatas (scarcity) dibanding kebutuhan sehingga selalu dibutuhkan pilihan tindakan dengan dampak positif terbesar.

Sebenarnya bagaimana mengukur nilai ekonomi sebuah warisan budaya?

Paling gampang tentu dengan menghitung berapa uang yang bisa dihasilkan dari keberadaannya. Tiket untuk menyaksikan, misalnya, masuk dalam kategori nilai langsung. Adapun kesediaan orang untuk datang menyaksikan akan menghasilkan uang secara tidak langsung melalui penyewaan kendaraan, membayar penginapan, membeli makanan dan seterusnya yang  dapat kita kategorikan sebagai nilai tidak langsung namun berdampak pada skala yang lebih luas.

Pada sisi lain terdapat aspek kesediaan membayar atau mengeluarkan uang dari calon pengunjung. Willingness to pay merupakan indikasi dari potensi nilai ekonomi.

Praktiknya dalam pengambilan kebijakan publik, valuasi ekonomi dari sebuah warisan budaya seringkali tidak didasari oleh pemahaman konseptual yang utuh tentang tipologi penilaiannya sendiri.

Terlalu sering isu konservasi, restorasi atau rehabilitasi dibicarakan dalam perspektif populis atau politis yang tidak menyentuh akar masalah atau penggerak utama ekonomi dari keberadaan sebuah warisan budaya. Dan sering juga penganggaran untuk kepentingan pelestarian warisan budaya dikalahkan oleh kepentingan penganggaran populis yang sifatnya sesaat. 

Maka pertanyaan mendasar sesungguhnya adalah siapa sebenarnya publik yang berkepentingan dalam pelestarian warisan budaya?

Frasa kepentingan dalam pertanyaan di atas harus juga dilekatkan di dalamnya konsekuensi kesediaan mengalokasikan sumber daya yang merupakan kata lain dari mengorbankan pilihan alokasi yang lain.

Silahkan lihat dan nilai dalam praktiknya.

Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun