Mengikuti suara publik seputar pendidikan di masa pandemi maka kita bisa menangkap nada betapa pendidikan tertatih-tatih berjalan.
Faktor infrastruktur yang masih menyisakan kesenjangan antar wilayah membuat tawaran pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran nyatanya lebih banyak memunculkan keluhan. Di sisi perangkat keras terdengar betapa timpangnya kesiapan infrastruktur persekolahan ditimpali jeritan orang tua yang merasakan betapa mahalnya biaya memenuhi perangkat secara mandiri di tengah ekonomi keluarga yang terpuruk dan bahkan para pendidik menyampaikan kejenuhan dan kesuntukannya betapa belajar dalam jaringan (on line) dirasa tidak efektif.
Bukannya pemerintah tidak berbuat apa-apa terhadap soalan-soalan tersebut, namun langkah pemerintah masih dirasa sebatas menambal lubang yang menganga. Ibarat jalan raya, tambalan-tambalan seringkali hanya menutup lubang tapi tidak meningkatkan kualitas permukaan jalannya. Tambalan malah sering menimbulkan hentakan-hentakan yang mengurangi kenyamanan berkendara.
Harapan publik dan upaya-upaya pemerintah dapat dilihat dalam perspektif proses sebagai bentuk pengakuan bahwa pandemi telah mengganggu kelancaran pembelajaran. Tindakan yang diperlukan karenanya adalah adaptasi. Namun sebagaimana contoh permukaan jalan di atas, adaptasi berarti kesediaan untuk menerima bahwa tambalan-tambalan lubang di jalan akan mengurangi kenyamanan karena kepadatan struktur jalan yang lama dan tambahan tambalan seringkali tidak homogen. Daripada mengutuki tambalan jalan lebih baik mengurangi kecepatan, yang penting selamat sampai tujuan menjadi alternatif rasional yang tersedia.
Namun seberapa sadar kita bahwa rasa tidak nyaman tersebut sebenarnya berakar dari tidak cukup jelasnya orientasi pembelajaran atau pendidikan yang selama ini kita usung?
Alih-alih menempatkan diri sebagai korban dari pandemi yang membutuhkan belas-kasihan semua pihak, bahasa kerennya pemangku kepentingan, ketidaknyaman yang ada sebenarnya dapat digunakan sebagai tonggak untuk menilai apakah pendidikan memang sudah berada di jalan yang tepat? Tidakkah keharusan untuk menjalani jalanan yang berlubang atau bertambal di sana-sini sebenarnya karena pendidikan sendiri salah memilih jalan?
Mari coba melihat tujuan pendidikan.
Tanpa merujuk ke definisi formal yang bertebaran di banyak regulasi yang selalu dibungkus dengan kalimat penuh warna dan bunga-bunga indah, bukankah pendidikan dimaksudkan untuk menyiapkan generasi menghadapi tantangannya sendiri di masa depan?
Pembekalan ilmu dan pengetahuan dimaksudkan untuk memberi referensi dan memperkaya pustaka informasi peserta didik yang melalui mekanisme bernalar akan digunakan pada saatnya untuk menyikapi tantangan yang datang. Tantangan yang muncul pada setiap generasi berbeda-beda sehingga pendidikan berupaya memberi kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang memadai yang akan memampukan generasi untuk memilah dan memilih tindakan yang rasional pada setiap situasi nantinya.
Artinya, secara konsep bangun pendidikan telah dirancang agar pesertanya nanti mampu memberi respon terhadap setiap goyangan, hentakan dan benturan yang datang dan secara dinamis mempertahankan diri meski dengan penyesuaian tertentu. Bahkan kalaupun harus rubuh, mekanisme pertahanan diri yang terbangun mampu memberi isyarat yang jelas dan sekaligus mereduksi kerusakan yang lebih parah yang mengancam eksistensi.
Mari kita lihat dan buktikan asumsi tersebut.