Secara global, setiap hari dihasilkan 2,5 kuintilion (bilangan dengan 18 angka nol di belakangnya!) byte data atau setara dengan 250.000 kali isi koleksi Perpustakaan Kongress Amerika Serikat.
Siapa bisa menghadang derasnya informasi mengguyur keseharian kita hari-hari ini? Siapa bisa membendung banjir tawaran pengetahuan baru yang menghampiri halaman depan akun media sosial kita dewasa ini? Â
Siapa mampu membantu kita memilih mana yang penting dan mana yang bermakna dari semua berita yang menggelombang datang? Benarkah informasi, berita atau pengetahuan yang mengguyur, sederhananya sebut saja semuanya sebagai data, adalah sesuatu yang memang kita butuhkan?
Pemerintah menawarkan bantuan dengan mengkampanyekan semangat melawan hoaks atau berita bohong. Dampak berita bohong yang merugikan dijadikan landasan agar kita semua bijak memilih dan memilah sebelum memaknai setiap data yang datang.Â
Secara normatif sepertinya masalah bisa diselesaikan dan kita dapat bergerak menjadi komunitas yang memiliki literasi yang memadai dan karenanya mampu memetik manfaat dari fenomena mutakhir ini.
Nyatanya pemerintah, yang dalam pengertian di atas dipersepsikan sebagai citra negara, mendapat kritikan tajam juga dari para cerdik pandai negeri yang kebetulan tidak berada dalam lingkaran penentu kebijakan.Â
Himbauan pemerintah dibaca sebagai ajakan dari penguasa yang bagi kelompok skeptis selalu dipandang memiliki muatan kepentingan kekuasaan di belakangnya.Â
Masalah siapa pengendali kekuasaan dan siapa yang diuntungkan dari praktik kekuasaan merupakan alasan di lapisan berikutnya yang lalu mendorong tumbuhnya rasa skeptis yang menjurus sinis kepada penguasa.
Masih ingat pernyataan seorang pejabat  bahwa "kalau pemerintah sudah bilang hoaks, ya berarti hoaks, kenapa didebat lagi?"
Pemerintah bisa berganti, pejabat pemerintah bisa berubah dan karenanya kebijakan dan pernyataan pemerintah melalui pejabatnya juga selalu memiliki peluang untuk bergulir disesuaikan dengan konteks mutakhir.
Sebagai warga negara, kita akan selalu diayunkan oleh silih berganti gelombang pernyataan ketika kita tidak memiliki literasi yang memadai untuk menilai paparan pernyataan di media.Â