Dalam masa pesta demokrasi lokal, yang sering terjebak dalam posisi sulit adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) atau lebih umum dikenal selama ini sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).Â
Selain istilah PNS, terdapat juga P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang merujuk ke kelompok yang baru dikenal semenjak terbitnya Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Penulis tidak akan membahas tentang manajemen aparatur negara sehingga istilah ASN kita samakan saja pemaknaannya dengan PNS karena toh bahasan ini juga akan menyasar baik PNS maupun P3K.
Terdapat kesepahaman bersama bahwa kontestasi seyogianya dilangsungkan dengan adil, dan menerapkan prinsip kesetaraan. Dalam kontestasi politik lokal, baca Pemilukada, harapan penerapan kesetaraan tentu diarahkan kepada penyelenggara kontestasi terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang didampingi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).Â
Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga independen yang secara etis diharapkan juga akan bertindak independen terhadap semua peserta kontestasi.Â
Namun pertanyaannya kenapa PNS dituntut untuk netral, bukankah PNS bukan penyelenggara pemilu, bukan juga peserta pemilu?
Kita dapat menduga karenanya bahwa isu keadilan dan kesetaraan dalam kontestasi bukan masalah legal formal atau kelembagaan semata melainkan juga mencakup tindakan keseharian perangkat negara atau daerah atau lebih tegasnya gerak-gerik PNS.
Sulit dipungkiri bahwa birokrasi negeri ini digerakkan oleh PNS. Wajah birokrasi adalah wajah yang ditunjukkan oleh PNS. Tabiat keseharian birokrasi negeri adalah tabiat PNS yang tertangkap mata publik.Â
Ruwetnya pelayanan birokrasi dipengaruhi sebagiannya oleh mental PNS yang memandang dirinya sebagai pangreh praja, alih-alih sebagai pamong praja.
Upaya menambal kebocoran kepercayaan publik dilakukan dengan, salah satunya, membentuk lembaga ad hoc yang mengemban tugas spesifik dalam jangka waktu tertentu.Â
Sebutlah beberapa lembaga yang menggunakan nomenklatur "komisi" atau "badan" yang diharapkan akan bergerak lebih fokus dan lincah tanpa stigma dan beban masa lalu. Dalam konteks tulisan ini contoh yang tepat adalah KPU dan Bawaslu.Â