Entah kenapa ketika kampanye cuci tangan digencarkan kembali, tidak banyak yang menyinggung atau berkenan menggencarkan kembali istilah Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) yang sebelum Covid-19 datang selalu dikampanyekan oleh Kementerian Kesehatan. Belum lagi kampanye Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang berisi 5 (lima) pilar dan salah satunya adalah Mencuci Tangan.
Entah kenapa kampanye-kampanye yang selama ini menggunakan dana besar itu tergilas dengan tema kampanye New Normal yang isinya juga memiliki kesamaan. Paling tidak materi-materi yang terpublikasi di media yang bisa kita tangkap hari-hari ini hanya menekankan pada istilah New Normal. Atau saya yang kurang termutakhirkan, entah.
Namun terlepas seperti apa efektifitas kampanye CTPS dan STBM selama ini, lebih menarik sebenarnya untuk mendedah seberapa baru kebiasaan cuci tangan dalam masyarakat.
Pandemi Covid-19 memang telah berhasil memaksa manusia untuk menyesuaikan cara beraktifitasnya. Selain mereka yang terpaksa kehilangan pekerjaan, kehilangan sanak keluarga, kehilangan keuntungan ekonomi dan kehilangan sentuhan dalam pergaulan sesama, semua yang ingin tetap menjaga kebiasaan, meneruskan keseharian dan melanjutkan perjuangan hidupnya akhirnya harus memperhitungkan keberadaan "musuh tak terlihat" namun mematikan kalau dipandang enteng itu.
Terminologi Normal Baru (New Normal) kemudian muncul untuk menjembatani kondisi dan harapan akan keberlanjutan. Adaptasi kondisi baru namun tetap dengan atau pada aktifitas lama.
Salah satu dari kebiasaan yang sering digaungkan adalah untuk sering-sering mencuci tangan setiap berpindah tempat, berganti aktifitas dan berubah mitra interaksi. Masuk rumah, masuk kantor atau masuk ke pusat perbelanjaan tetaplah untuk selalu mengawalinya dengan mencuci tangan. Penjelasan di balik kebutuhan itu adalah untuk memutuskan rantai penyebaran jika sekiranya ada virus yang ikut nempel di tangan.
Tentu saja cuci tangan yang lebih dipentingkan daripada cuci kaki, karena tangan kitalah yang sangat aktif dan sering tanpa sadar tangan mengusap ke wajah, menyentuh hidung ataupun sekadar menutup mulut.
Perubahan gaya hidup dari sebelumnya rural, "katrok" katanya Tukul, yang terbiasa dengan telanjang kaki menjadi urban dengan sepatu atau minimal sandal dianggap sudah cukup melindungi badan, apalagi tidak lumrah orang timur masuk rumah dengan sepatu atau sandal. Kalaupun masuk ke kantor tetap bersepatu, tapi kaki kita kan tidak bersentuhan langsung dengan sumber virus.
Di masyarakat kita sebenarnya kebiasaan mencuci tangan sebelum masuk rumah sudah lumrah, dulunya sih. Sayangnya kelumrahan ini kini hanya dapat ditemui di rumah-rumah di segelintir pedesaan yang selalu dilengkapi dengan gentong penampung air di depan rumah.Â
Sepulang dari aktivitas di sawah dan kebun, bertelanjang kaki biasanya, lumpur atau kotoran yang barangkali masih ada menempel di kaki dan anggota badan lainnya dapat dibersihkan terlebih dahulu sebelum kita masuk ke rumah.
Bagi penduduk muslim, keberadaan gentong di depan rumah juga sering difungsikan sebagai sumber air untuk bersuci (wudhu) dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lainnya yang kebetulan lewat. Wadah dan air di depan rumah dalam budaya tradisional memiliki kegunaan sebagai media untuk merekatkan kohensi sosial.