Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

ASN, Kelas Menengah di Simpang Jalan

9 April 2020   21:58 Diperbarui: 9 April 2020   23:00 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ASN di Sumbawa sedang bekerja di lapangan (dokpri)

Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), ternyata pandemi Corona tidak hanya mengancam kelangsungan hidup, tetapi juga (akan) mengancam kelangsungan sebagian dari penghasilannya. Apalagi penyebabnya kalau bukan wacana pemotongan gaji demi mengumpulkan dana untuk penanganan Covid-19, pagebluk (wabah penyakit) yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berlalu.

Di tengah greget dan semangat warga untuk turut berperan membendung penyebaran pagebluk, muncul wabah baru yang sontak memancing reaksi beragam dari khalayak. Wabah yang tidak bersifat kasat mata, namun tampak nyata dampaknya bagi mereka yang akan terpapar jika seandainya tersebar. Wabah tersebut adalah wacana untuk melakukan pemotongan gaji terhadap mereka yang termasuk kelompok ASN dan pejabat tinggi negara lainnya.

Kalau anda ASN, reaksi alamiah anda adalah menolak wacana tersebut karena dampaknya akan menusuk jauh ke jantung rekening (he he). Tapi kalau anda bukan termasuk dalam golongan itu kemungkinan besar anda akan setuju karena ASN tidaklah mayoritas di negeri ini dan juga mungkin dinilai tidak mayoritas dampak keberadaannya dalam pemajuan negeri.

Karena itu semua toh masih wacana, mungkin menarik untuk melihat kenapa ketika untuk menghadapi musuh bersama yang membutuhkan kerjasama dan juga kesediaan berkorban bersama justru reaksi kita sebagai warganegara menjadi terbelah? Tentu pembelahan ini bukan karena dikotomi pilihan politik yang lalu.

Coba kita melihat bahwa pembelahan pendapat ini sesungguhnya bisa dicerna melalui dua sisi yaitu citra ASN dalam masyarakat secara umum dan sisi konsekuensi ekonomi berantai yang mungkin timbul nantinya.

Sisi pertama, citra ASN dalam masyarakat.

Suka tidak suka, ASN memiliki akar sejarah yang terentang terutama sejak adanya peralihan struktur pemerintahan dan kekuasaan di Nusantara. Pemerintahan tradisional dalam bentuk kerajaan-kerajaan yang tersebar secara perlahan dikonsolidasikan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi birokrasi yang modern. Reformasi ini merupakan respon terhadap kegagalan struktural Serikat Dagang Hindia Belanda (VOC) akibat korupsi para pejabatnya yang membuat perusahaan multi nasional terbesar di dunia pada masa kejayaannya itu mengalami kebangkrutan.

Tanggal 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut. Parahnya kondisi keuangan perusahaan memaksa Pemerintah Belanda membubarkan kongsi dagang yang telah berjasa hampir 2 abad tersebut. Yang menarik dalam sejarah tersebut adalah salah satu penyebab keroposnya VOC, selain karena perang dengan Inggris yang menguras sumber daya, adalah praktik usaha sambilan para pejabatnya untuk menutupi rendahnya pendapatan resmi yang mereka terima. Conflict of interest yang diam-diam dibiarkan berjalan tersebut memicu suburnya perilaku korupsi dan kolusi dalam kegiatan bisnis VOC.

“Lagi-lagi begitu banyak orang yang bejat dan tidak berpengalaman di antara mereka yang baru saja tiba di sini (Batavia) hingga beberapa orang nakhoda dan perwira menyatakan keheranannya bahwa kapal-kapal sempat juga bisa selamat sampai ke mari,” ujar Gubernur Jenderal Carel Reyniersz dalam salah satu suratnya.

Tutup bukunya VOC dari muka bumi digantikan oleh pemerintahan kolonial baru yang dibentuk dengan nama Pemerintahan Hindia Belanda. Negara dalam negara itu digantikan langsung oleh Kerajaan Belanda yang tidak mau kehilangan sumber pendapatannya yang sangat menguntungkan itu. Wilayah kerajaan-kerajaan lokal yang sudah dirontokkan oleh VOC dijadikan basis pembentukan wilayah negara baru itu. Dari sinilah kemudian birokrasi di wilayah kolonial mulai dibangun dan bukan dengan memperkuat struktur kekuasaan tradisional yang sudah ada.

Lebih lengkapnya bagaimana VOC bisa runtuh, dapat dibaca di sini, tapi karena manfaat sejarah adalah untuk memetik pelajaran maka poin yang menarik dan relevan menurut saya adalah runtuhnya VOC tidak karena perlawanan bersenjata dari raja-raja lokal melainkan pengeroposan dari dalam berbentuk praktik korupsi. Dan poin yang lebih penting lagi adalah praktik korupsi itu didorong oleh rendahnya gaji para pegawainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun