Mengikuti pemberitaan seputar Corona dan ancamannya di ruang publik, mulai dari cara mengantisipasi, cara menangani sampai siapa yang harus berbuat apa, maka nampaklah bahwa publik belumlah sampai pada kesepakatan utuh tentang seperti apa sebenarnya ancaman dari si virus.
Istana punya bahasa dan gaya sendiri, publik punya ekspektasi sendiri dan selalu ada sisi metaforis yang membuat kata dan harapan terkadang bersimpang jalan di marka tanda tanya besar.Â
Kecepatan tanda tanya berbiak dalam benak berkelindan dengan peningkatan jumlah kasus yang saban sore dihidangkan kepada kita. Dan dari sebelah sang penyampai warta, terbitlah petunjuk penanganan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ternyata isinya adalah petunjuk agar melihat petunjuk pada aturan lain. Hadeuh....!
Corona ternyata membuat kita kalang-kabut. Jenazah pun tertolak melintas hanya karena sang mayat diurus dan diantar dengan protap. Kepala daerah dan pemerintah larut dalam sawala (debat, berbantah) tanpa suara namun terdengar nyata.Â
Ketika jumlah kasus merangkak naik, kematian terus bertambah, iringan jenazah demi jenazah pun menyapa gerbang kampung dan pemukiman mohon perkenan lewat menuju lahat membawa stigma aib yang dilekatkan tanpa rasa. Iringan jenazah ternyata juga diringi bantah berbantah dari dan dalam istana sendiri. Duh!
Jasad renik tak berwajah itu menyeramkan dan tergambar dari kepanikan, kecemasan dan bahkan kegagapan. Namun pada sisi lain di negeri ini ada juga yang menganggapnya hanya sekadar isu, atau paling tidak ancamannya belum sebanding dengan ancaman kematian di dalam rumah, kelaparan karena karantina atau isolasi mandiri.Â
Bayang-bayang rasa kesepian dan kekosongan berhari raya tanpa suasana mudik dan kesempatan silaturahmi dengan keluarga dan jiran tetangga lebih menakutkan ketimbang berdiam di kota yang sejatinya bukan mereka yang punya.
Ketika kita dedah siapa saja mereka, maka terungkaplah bahwa ancaman apalagi sekadar himbauan hanya akan bermakna sebatas tingkat kepentingan untuk mempertahankan diri.
Pemudik yang berlatar pekerja sektor informal di perkotaan lebih terancam eksistensinya kalau tetap bertahan di kota yang sudah menerapkan bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan bentuk pembatasan sosial lainnya.
Bagi mereka sebaik-baik tempat adalah rumah di kampung yang selalu menyambut hangat dan karenanya memberi rasa aman. Ancaman Covid-19 hanya soal takdir bagi mereka.
Pengancam haruslah dilawan, dibendung, dibatasi peluang geraknya agar tidak menambah kekalutan. Bukan hanya pengancam, pembawa ancaman pun harus dibatasi agar tidak menjadi penyebar. Karantina, kuncitara (lockdown), isolasi adalah bentuk-bentuk ungkapan untuk menjelaskan cara membatasi gerak sesuatu yang akan mengancam kita.