Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jam Karet, Ini Penjelasan Kulturalnya

11 Maret 2020   20:34 Diperbarui: 11 Maret 2020   20:39 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels.com/@buenosia-carol-116286

Seseorang tidak perlu lagi berpikir karena template untuk itu sudah tersedia. Berulang-tidaknya tanggapan atau menetap-berubahnya template dalam memori individu dan sosial lagi-lagi membutuhkan asupan kondisi. Kondisi berubah bisa menimbulkan tanggapan yang berubah dari pola sebelumnya.

Karena kita sedang melihat suatu pola, maka saya akan menggunakan kata kunci "pola" untuk menautkan kebiasaan dengan "kebudayaan". Kebudayaan dapat dilihat sebagai respon individu yang beragregat menjadi respon komunitas terhadap suatu kondisi lingkungan dimana seseorang atau komunitas hidup. 

Ketika respon tersebut dalam bentuk kesepakatan pada tataran mental dan bersifat tidak benda maka disebut sebagai "nilai" atau "sistem nilai". Dari sejumlah nilai yang terangkai menjadi suatu pedoman bersama, komunitas atas kesepakatan individu-individu kemudian menerjemahkannya menjadi suatu aktifitas berpola baik dalam cara mendapatkan penghidupan, berinteraksi dengan sesama maupun dalam menghadapi tantangan eksistensi bersama. Alat, bahan, teknologi dan sejenisnya yang banyak kita lihat dalam keseharian merupakan fakta yang mengartikulasikan dua hal di atas yaitu sistem nilai dan sistem aktifitas berpola.

Nah, dengan alur atau kerangka yang menghubungkan antara individu dan lingkungan tersebut, apa yang dapat kita pelajari dari fenomena ngaret dalam masyarakat (dan) kita?

Dikenal 2 macam konsep tentang waktu yang ada dalam kebudayaan bangsa-bangsa yaitu konsep waktu polikronik dan waktu monokronik sebagaimana banyak dikutip dari buku Beyond Cuture-nya Edward Hall (1989). Kedua cara menilai waktu ini memiliki ciri tersendiri dalam memanfaatkan waktu atas dasar pandangan terhadap nilai dari waktu.

Masyarakat yang menganut konsep polikronik memandang waktu sebagai sesuatu yang bisa dan akan berulang. Sejarah berulang, kejadian di semesta mengikuti pola tertentu yang akan berulang pada hitungan tertentu merupakan salah satu cara masyarakat memberi nilai terhadap waktu. 

Masyarakat polikronik terbiasa melakukan banyak hal pada waktu bersamaan karena tidak ada sesuatu aktivitas yang sifatnya absolut dalam suatu interval waktu yang apabila tidak dituntaskan segera maka habis hilangnya segalanya. Menerima dan melayani panggilan telpon lain ketika kita sedang berhadapan atau berbicang dengan orang lain tidaklah tabu dalam masyarakat polikronik. Mundur dari waktu yang direncanakan semula bukan sesuatu yang tabu, karena toh masih ada waktu lain untuk menyelesaikannya.

Sebaliknya masyarakat yang menggunakan konsep monokronik memandang waktu sebagai sesuatu yang bernilai tinggi yang tidak sepantasnya disia-siakan. Waktu adalah uang yang kalau tidak dimanfaatkan maka waktu akan berlalu dan kesempatan pun hilang. 

Penganut cara berpikir monokronik tidak terbiasa dengan aktifitas multi-tasking sehingga mereka akan sangat terpusat pada satu aktifitas tertentu pada waktu tertentu. Menerima panggilan telpon ketika sedang berbicara akan dipandang sebagai tidak etis oleh lawan bicara di depan. Molor dari kesepakatan atau jadwal merupakan bentuk dari kurangnya penghargaan terhadap orang lain yang lebih dahulu hadir.

Polikronik banyak dianut oleh bangsa-bangsa Asia sedangkan monokronik dianut oleh bangsa-bangsa Eropa atau belahan Utara. Tentu saja pembagian konsep penggunaan waktu berdasarkan pembagian geografis ini tidak berlaku kaku karena bangsa Jepang atau Korea misalnya juga sangat disiplin dengan penggunaan waktu.

Kembali ke perspektif kebudayaan untuk menilai kewajaran atau ketidakwajaran fenomena jam karet, kenapa kondisi ini menjadi masalah bagi sebagian orang tapi tidak dianggap masalah bagi sebagian yang lain? Mereka yang ingin tepat waktu menjadi dongkol karena rekan atau mitra justru tidak bisa menghargai waktu. Mereka yang "santuy" dalam segala aktifitasnya heran dengan rekannya yang seolah-olah jadi kuda beban diburu waktu terus menerus tanpa ada celah untuk menikmati hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun