Menjadi ironi ketika di jaman kemudahan mendapatkan informasi seperti sekarang semua pondasi masyarakat dan kemudahan akses itu ternyata tidak bermakna merasionalkan generasi yang katanya tingkat pendidikannya kini lebih baik. Pengkategorian Indonesia sebagai negara maju menurut Amerika, meski banyak juga yang ragu, ternyata tidak tercermin dalam kemajuan masyarakat menggunakan cara pandang rasional dalam merespon kejadian tertentu. Melek huruf dan melek teknologi ternyata tidak berarti melek informasi karena tidak menghindarkan mereka dari bias informasi. Pemborong masker dan cairan pencuci tangan pastilah kelompok kelas menengah.
Kita mungkin dapat menyalahkan kepada otoritas yang bertanggungjawab terhadap tersedianya aliran informasi yang benar. Pemerintah harus rutin memutakhirkan informasi yang jelas dan benar agar masyarakat tidak tersesat dalam belantara informasi bohong. Namun bukankah pada era disrupsi seperti sekarang peran pemerintah ingin diminimalkan dan kemandirian masyarakat diunggulkan?
Kita berhipotesa bahwa karena menyangkut nyawa dan keberlangsungan hidup, maka pembagian peran yang diam-diam didorong ini kini sejenak kita pinggirkan. Semua kita ternyata takut mati dan ketika dihadapkan pada pilihan (seolah-olah) antara hidup dan mati, apapun akan kita lakukan agar nyawa kita selamat di badan.
Dalam fenomena Covid-19 ini, terbukti literasi kesehatan publik di negara kita sangat rendah. Pengetahuan tentang hidup sehat yang diguyurkan dari hari ke hari ternyata masih sebatas pada ranah kognitif, belum mewujud sampai ke ranah afektif. Tidak adil rasanya kalau semua kesalahan ditimpakan ke pemerintah yang telah banyak melakukan kampanye KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Kesehatan. Coba periksa dokumen anggaran sektor kesehatan, pasti KIE tidak pernah terlewatkan. Tapi kalau evaluasi KIE yang dimaksud, maka itu bisa jadi bahasan lain.
Bukti rendahnya literasi kesehatan dapat diuji dari dampak yang terlihat hari-hari ini dengan mengacu kepada potensi dampak sebagaimana disebut oleh Zarcadoolas et.al di atas. Kesalahan penggunaan masker, pengendalian diri yang buruk dan respon yang tidak rasional dapat kita saksikan melalui pemberitaan. Panic buying merupakab bukti terjadinya pemborosan finansial dan kelompok miskin menjadi sulit mendapatkan masker atau cairan pencuci tangan membuktikan mulai terjadinya ketidaksetaraan sosial berupa kesenjangan akses masyarakat terhadap ketersediaan obat dan pengobatan secara mandiri.
Covid-19 ternyata dapat menjadi cermin betapa ternyata kita belum sepenuhnya menjadi masyarakat yang melek informasi. Mudahnya informasi bohong (hoaks) menyebar dan diyakini kebenarannya menunjukkan kesenjangan antara kemampuan memperoleh informasi dan ketepatan penggunaannya menjadi rangkaian tindakan yang rasional yang mampu mengurangi resiko kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup.
Tidak bisa dipungkiri bahwa materi dan informasi kesehatan banyak yang menggunakan bahasa atau istilah yang tidak serta merta dapat difahami oleh semua lapisan masyarakat. Dengan bayang-bayang resiko buruk dari paparan Covid-19, maka respon yang muncul lebih didasarkan pada naluri dasar manusia untuk mempertahankan hidup. Lagi-lagi ini mencerminkan kegagalan edukasi kesehatan di negeri ini.
Berita positif yang mulai berhembus perihal keberhasilan penanganan di beberapa tempat kiranya dapat menjadi awal kita untuk melakukan introspeksi sejauh mana sebenarnya tingkat melek huruf dan melek informasi penduduk negara kita. Kemampuan untuk belajar inilah yang akan menjadi bekal kita memasuki era milenial, menyongsong bonus demografi yang akan menjelang. Bukankah kita sekarang dikelompokkan sebagai negara maju oleh Amerika Serikat?
Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H