Rupanya ada saling tidak percaya antara negara selaku penyelenggara statistik dengan publik selaku pengguna informasi. Publik mencurigai penguasa memanipulasi metodologi dan penyajian data statistik untuk memoles prestasi pembangunan dan sekaligus menutup kekurangannya.Â
Penguasa tidak cukup percaya bahwa publik akan mampu mencerna data dasar dengan benar dan dewasa dan karenanya butuh sajian infografis yang sederhana agar mereka paham informasi yang tersaji.
Bagi penguasa data tidak bisa bicara sendiri, melainkan harus dibunyikan. Ungkapan "biarkan data yang berbicara" ibarat melepas macan yang bisa menerkam balik.
Literasi mungkin menjadi jawaban kesenjangan persepsi tersebut. Literasi statistik, peningkatan kemampuan bernalar secara logis dan pendewasaan tradisi demokrasi menjadi tugas bersama agar bangsa ini bisa beranjak dari bertengkar tentang akurasi dan definisi data ke tingkatan yang lebih tinggi yaitu menjadikan statistik yang dihasilkan dari kegiatan sensus sebagai cermin introspeksi bersama.
Berapa sebenarnya penduduk negeri ini yang menjadi petani, petani yang memiliki lahan sendiri? Dari jumlah ini berapa yang betul-betul miskin?Â
Kalau pertanyaan ini diajukan ke instansi pemerintah, kita akan dibanjiri data yang sayangnya beda instansi akan memberikan data yang berbeda tentang hal yang sama. Muncul guyonan kemudian, "semua data ada, kecuali yang dibutuhkan".
Ironi kalau sampai menjelang 100 tahun usia republik, negara ini belum mampu menghitung berapa sebenarnya jumlah penduduknya yang masih miskin, karena secara tidak langsung data ini menjadi dasar untuk menilai apakah tujuan kemerdekaan sudah kita dekati atau tidak.Â
Tanyakan jumlah penduduk suatu wilayah di Dinas Pencatatan Sipil lalu bandingkan dengan data BPS setempat. Kita tidak akan mendapatkan data tersebut, yang akan kita peroleh adalah penjelasan kenapa data mereka berbeda-beda.
Jangan pula tanyakan data transaksional (data yang dihimpun dari hasil aktifitas tertentu) yang dinamis, data dasar pun terkadang belum bisa dijadikan dasar.
Apakah penggunaan teknologi informatika akan meretas kegagalan berulang tersebut? Karena teknologi hanya algoritma yang menerjemahkan kerangka pikir perancang dan pola tindakan pengguna maka penggunaan teknologi dapat mereduksi kesalahan yang sifatnya manusiawi.Â
Perkembangan teknologi sering tidak menyediakan ruang bagi kita untuk sejenak memikirkan jawaban siap atau tidak, kita hanya diberi opsi ya atau tidak. Tidak manusiawi?Â