Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menangkal Hoaks dengan Literasi Sejarah

5 Februari 2020   11:23 Diperbarui: 5 Februari 2020   11:29 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sarkofag Ai Renung, Salah satu sarkofag yang banyak tersebar di Kabupaten Sumbawa-NTB (sketchfab.com)

Jejak digital kita di dunia maya nyatanya dibuntuti diam-diam oleh konsultan pemasaran digital, lalu datanglah badai tawaran menarik. Sambil bergumam kita lalu sering tak sadar bertanya sendiri, kok platform ini faham apa yang saya cari?

Tawaran belanja bisa saja kita abaikan, rayuan produk terbaru misa kita hapus segera, tapi bagaimana dengan paparan informasi yang sensitif? Bagaimana menyikapi paparan informasi bohong menyangkut pilihan politik, sentimen kedaerahan atau etnis, pembunuhan karakter keluarga dekat atau rasa keagamaan kita?

Dengan kedewasaan (saya meyakini kita sudah dewasa, he he), secara pribadi kita mungkin bisa menekan emosi. Yang penting adalah bagaimana orang lain, yang belum sedewasa kita, mampu menyaring setiap informasi yang diterima agar perselisihan dan pertengkaran tidak berkembang.

Saring sebelum sharing itu ungkapan yang banyak kita dengar. Gampang disebut tapi tidak mudah dipraktikkan, karena ketika melibatkan emosi biasanya nalar akan terpinggirkan. Respon kita akan lebih cepat apabila yang disinggung menyangkut pribadi atau kepentingan kita langsung. Proses menalar yang panjang seringkali terabaikan karena ingin cepat merespon.

Reaksi cepat dulu, akibat nanti difikir! Kecepatan akses lewat media sosial mempermudah kita untuk mempercepat reaksi tersebut. Share (bagi) dan forward (teruskan) sangat mudah dilakukan, hanya dengan memainkan jemari dan menekan tombol di gawai kita.

Ketika internet belum hadir di ruang publik, penyampaian informasi didominasi oleh mereka yang memiliki reputasi dan legitimasi. Ilmuwan, cerdik pandai, pemimpin, tokoh masyarakat adalah sumber informasi. Kebenaran apa yang disampaikan dapat kita pertanyakan, tapi sumber informasinya dapat diketahui dengan jelas dan karenanya dapat dinilai dengan standar yang kita pakai.

Dalam Islam, penelusuran riwayat sebuah hadits adalah salah satu contoh metode untuk menapis mana hadits shahih, yang mana hadits lemah atau menentukan hadits palsu. Metode ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi mumpuni karena memerlukan penguasaan ilmu yang luas, mulai dari ilmu bahasa, logika sampai sejarah.

Dengan menggunakan contoh dari periwayatan hadits, maka sebenarnya yang perlu diperkuat untuk menangkal berita bohong adalah penguatan literasi masyarakat. Perkuatlah literasi generasi muda kita hari ini. Tidak cukup regulasi diperbanyak kalau literasi tidak mumpuni.

Pelajaran Sejarah di sekolah-sekolah adalah saluran untuk memperkuat literasi tersebut. Tugas Guru Sejarah dan sejarawan untuk meninjau ulang praktik cara sejarah diajarkan di sekolah selama ini. Stigma Sejarah sebagai pelajaran menghafal harus diubah. Berhentilah para guru memaksa murid untuk menghafalkan nama tokoh, tanggal lahir, tahun berkuasa dan saat keruntuhan sebuah kerajaan.

Mas Menteri Nadiem sudah mengatakan bahwa negara ini tidak butuh generasi penghafal. Saya menduga maksud beliau adalah generasi yang hanya bisa menghafal tanpa faham konteknya, karena kemampuan menghafal justru menunjukkan kemampuan mengorganisir pengetahuan.

Kenapa Pelajaran Sejarah? Saya di sini memisahkan antara Sejarah dan Pelajaran Sejarah, karena Sejarah adalah informasi dari masa lalu sedangkan Pelajaran Sejarah adalah tentang kemampuan menyusun dan menerjemahkan informasi masa lalu tersebut. Pelajaran Sejarah yang dikuasai dengan baik oleh generasi muda akan memampukan mereka untuk melakukan penalaran yang utuh dengan mempelajari tahapan-tahapan dalam metodelogi sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun