Istilah "milenial" telah menjadi disrupsi dalam banyak aspek. Kita menyandingkannya dengan banyak term lain yang dinilai setara, sekelompok dan berkaitan, misalnya digital, modern, kemajuan dan sejenisnya. Tanpa sadar istilah tersebut merasuk dalam lalu membentuk cara pandang kita melihat fenomena mutakhir.Â
Ketidakmampuan menyebutkan atau menggunakan term digital, milenial, globalisasi dalam membahas sesuatu maka seorang guru akan dicap "kolonial". Suatu sindiran untuk mengganti istilah kolot, ketinggalan zaman dan sejenisnya.
Menariknya istilah kolonial dalam pengertian ini banyak digunakan oleh kalangan milenial. Pilihan diksi ini jelas mengandung makna peyoratif di belakangnya. Bahkan mungkin kelompok milenial ini sebenarnya sedang atau mungkin sudah bertransformasi menjadi komunitas.Â
Suatu komunitas dicirikan oleh kesadaran adanya kesamaan dalam sesuatu, baik kesamaan dalam aspirasi, kesamaan cita-cita, kesamaan cara berfikir dan juga kesamaan bertindak. Apabila kesamaan dalam suatu kelompok diperkuat dengan kesepakatan dan kemudian dipatuhi bersama maka komunitas dapat bertransformasi dan membentuk tatanan bermasyarakat sendiri. Nampaklah kemudian pembeda antar komunitas dalam cara berpakaian, cara berkomunikasi,
Nah, apakah delineasi populasi dan karakteristik ini disadari oleh para guru hari ini?
Hukum Tobler (1930-2018) menyatakan "segala sesuatu terkait dengan segala sesuatu yang lain, tetapi hal-hal yang dekat lebih terkait daripada hal-hal yang jauh". Ungkapan ini yang dikenal sebagai Hukum Geografi Pertama (first law of geography) kemudian melandasi ilmu tata ruang.Â
Sebagai guru besar, Tobler berjasa mengembangkan ilmu geografi dengan memanfaatkan dan mendorong kemajuan teknologi komputasi dan analisa spasial. Tulisan ini tidak akan bercerita tentang kedua aspek terakhir ini karena lebih tepat dibahas di depan kelas, alias butuh kening untuk berkerut dahulu (he he he).
Saya ingin menggunakan kerangka atau hukum geografi pertama itu untuk memahami seperti apa sebenarnya hubungan guru-murid di era digital dewasa ini. Bukankah sering kita dengar ungkapan bahwa "gadget dan komputer yang didukung internet berhasil mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat?"
Jangan-jangan murid yang hadir di sekolah justru terasing dengan guru di depannya, guru juga tidak merasa dekat dengan murid di hadapannya. Keduanya mungkin lebih akrab dengan mitra chatting di gawai masing-masing sekalipun berjauhan entah di dan dari belahan dunia mana.
Kita tidak jarang mendengar suatu Long Distance Relation (LDR)Â yang merusak atau memutus hubungan lain dengan individu yang secara fisik berdekatan sehari-hari. Dalam kasus ini berarti yang jauh jaraknya (long distancse) lebih kuat hubungannya karena bisa memutus hubungan yang dekat. Bagaimana dengan kalimat "jauh di mata dekat di hati?" Apakah Tobler salah merumuskan hukumnya?