Kalau berangkat dari pemahaman bahwa kebudayaan adalah cara manusia berinteraksi dengan lingkungan maka kejadian bencana yang banyak menimbulkan korban mengandung arti gagalnya kebudayaan difahami. Kalau digunakan pengertian yang lebih operasional bahwa kebudayaan adalah apa yang difikirkan manusia lalu melakukan sesuatu atas dasar pemikiran tersebut dan kemudian karenanya memiliki sesuatu maka fenomena adanya kerugian yang bersumber dari mekanisme alamiah berarti adanya kegagapan antros (manusia) menyadari posisinya dalam kosmos.
Bahwa Indonesia terletak di jalur Cincin Api (Ring of Fire) semua sudah tahu. Itulah kondisi yang disediakan alam dan menjadi lingkungan hidup rakyat Indonesia hari ini. Catatan sejarah kejadian gunung meletus cukup menggambarkan berapa banyak korban yang telah ditimbulkannya. Anehnya aktifitas masyarakat di lereng atau kawasan yang berdekatan dengan gunung berapi tersebut justru tidak banyak dilindungi dengan kesiapan infrastruktur atau manajemen terhadap dampaknya. Indonesia memiliki dua musim yaitu kemarau dan hujan sudah sangat difahami. Tapi kenapa ketika kedua musim itu datang sesuai gilirannya kita lebih sering tidak siap menghadapi ikutannya?
Pernyataan keadaan bencana atau darurat dari sesuatu kejadian alam yang potensi bahaya dan besaran dampaknya sudan dapat diprediksi sebenarnya merupakan pernyataan kegagalan merespon sifat lingkungan yang justru ditinggali sehari-hari.
Ilmu pengetahuan yang dimiliki, sebagai salah satu unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat, ternyata tidak atau belum memampukan penghindaran dampak merugikan dari aktifitas alamiah lingkungan. Alih-alih merespon dengan baik, justru muncul pembenaran bahwa itu disebut bencana alam. Terminologi yang cenderung menyalahkan adanya kondisi luar dan menutupi kekurangmampuan  manusia menghindar atau mengurangi resiko dampaknya dan lalu diam-diam mengatakan bukan karena manusia yang gagal membaca alam. Padahal ilmu pengetahuan telah menjelaskan dengan gamblang mengenai siklus hidrologi, perubahan iklim, potensi kejadian gempa atau sebaran titik bergunung api.
Kalau kembali ke pengertian dan pemahaman di awal tulisan ini, maka sebenarnya kebudayaan sedang ditinggalkan. Baik kebudayaan yang pengetahuannya diperoleh hari ini maupun yang diwarisi dari generasi terdahulu ternyata tidak dimanfaatkan dalam berinteraksi dengan alam lingkungan.
Bahwa beberapa daerah berada di dataran rendah dan dekat dengan badan air, leluhur kita telah memberi contoh bagaimana bersahabat dengan kondisi itu. Sebaran pemukiman di pinggiran sungai di Kalimantan contohnya. Penggalian arkeologi menunjukkan betapa Majapahit membangun ibukotanya dengan jejaring kanal-kanal air sehingga bersahabat dengan aliran sungai di sekitarnya. Bahwa Nusantara berada di atas cincin api, bukankah arsitektur tradisional telah menjawabnya dengan struktur rumah panggung atau berbahan lokal dari kayu atau bambu?
Kegagalan berbudaya tersebut tergambar dari apa yang kita miliki dewasa ini dalam bentuk pola dan struktur pengembangan kawasan atau pembangunan hunian berbahan beton. Apa yang dipandang baik di belahan dunia lain dinilai pasti cocok diterapkan karena keilmuan mereka sudah sangat maju. Membangun kawasan perumahan atau pemukiman mencontoh konsep kawasan dari Amerika atau Eropa yang jauh dari lintasan air banyak diterapkan di Indonesia. Arsitektur lokal dan kearifannya yang sebenarnya sudah terbukti aman justru ditinggalkan karena dipandang ketinggalan jaman.
Membangun hunian berbahan beton tanpa menyesuaikan detailnya dengan kemungkinan respon gempa banyak diterapkan. Secara struktur beton memerlukan biaya lebih tinggi dan disiplin menerapkan spesifikasi kalau diharapkan memiliki kemampuan meredam gempa. Tingginya biaya dan kemudian dibangun dengan pendekatan biasa saja adalah contoh kegagalan mengadaptasikan pengetahuan dengan kontek lokal. Berharap membangun dengan kecenderungan modern tapi tidak siap dengan konsekuensi biayanya menjadi bukti bahwa kebudayaan yang sejatinya menjadi ciri makhluk yang bernama manusia merespon kondisi lingkungan justru gagap memberi jawaban. Padahal kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan binatang dan makhluk lainnya yang hanya mengikuti nalurinya.
Apa yang muncul di media tentang bagaimana pejabat merespon kejadian alam yang membawa korban manusia semakin mempertegas kegagalan berbudaya tersebut. Silang pendapat dan saling menghujat tanpa kesepakatan solusi bersama justru muncul dari mereka yang kita pandang memiliki pendidikan tinggi. Pertanyaannya kemudian menjadi apakah praktik dan kebijakan pendidikan justru telah mendorong proses pengasingan terhadap lingkungan keseharian kita sendiri?
Tanpa disadari ternyata kita cenderung melihat bahwa  hanya sebatas festival kesenian dan pesta rakyat. Celakanya hampir semua pejabat, apalagi di tingkat lokal, hanya menggandengkan isu kebudayaan dengan potensi manfaatnya sebagai penarik wisatawan. Bahkan pada ritual 5 tahunan demokrasi berupa kontestasi pemilihan kepala daerah, tampilan kebudayaan hanya untuk memperkuat sentimen kedaerahan dan mengeksploitasi primordial lokal.
Pada akhirnya diperlukan kejujuran dan pembangkitan kesadaran untuk mengenali kembali lingkungan dimana kita tinggal dan beraktifitas. Lingkungan alam dengan hukum alamnya tidak untuk dilawan atau diselewengkan melainkan prakondisi darimana kita harus mulai bersikap dengan bijak dan dengan solusi tingkat lokal pula. Pendidikan dan pengetahuan yang diperoleh dari belahan dunia lain nunjauh di sana merupakan referensi dan penting untuk mengetahui bagaimana cara mereka merespon lingkungannya. Kata kuncinya dari cara merespon, bukan menjiplak tampilan visual karena bisa jadi jiwa yang melatarbelakanginya berbeda. Barulah kita dapat mengatakan diri kita berbudaya sebagaimana seharusnya manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H