Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pengelolaan Sampah dan Identitas yang Tergerus

28 Desember 2019   16:58 Diperbarui: 30 Desember 2019   14:41 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sampah plastik (Dok. Ecoton via kompas.com)

Pengelolaan sampah, khususnya sampah perkotaan atau pemukiman, sering menjadi ajang debat publik dan bahkan politik. Bahwa penanganan sampah memerlukan keseriusan dari semua pihak di tengah semakin membumbungnya produksi sampah kita semua rasanya sudah mengakui. 

Yang membedakan respon dari semua kita adalah tingkat kepentingan kita masing-masing terhadap ISU SAMPAH itu sendiri, bukan tentang SAMPAH an sich.

Di sini masalah bermula. Not In My Back Yard alias NIMBY adalah ungkapan yang sering digunakan untuk menggambarkan betapa tidak berkorelasinya pemahaman tentang lingkungan yang bersih dan sehat dengan cara kita menangani sampah. Selama NIMBY alias selama tidak mengotori pekarangan rumah saya, maka saya tidak peduli sampah itu ditaruh di mana. Pindahlah sampah itu kemudian ke ruang publik, menjadi masalah bagi lingkungan sekitar baik manusia maupun alamnya.

Bergesernya posisi sampah dari dalam rumah orang per orang ke lingkungan sekitar membangkitkan pertanyaan apakah masalahnya karena kegagalan pemerintah mengelola siklus atau kesalahan perilaku individu? 

Siklus yang dimaksud di sini dimulai dari bangkit atau timbulnya sampah (generation), cara sampah dikumpulkan (collecting), tempat sampah dikumpulkan (storage) lalu diangkut (transporting) sampai akhirnya diolah yang kesemuanya membutuhkan tata kelola dari pemerintah yang komprehensif.

Banyak liputan media yang memuat keluhan warga tentang bagian-bagian dari siklus ini tapi umumnya warga mengeluh tentang pengumpulan yang sering terlambat atau armada kurang. 

Kesempatan lainnya lokasi penampungan sementara yang dipermasalahkan karena menyebarkan aroma kurang sedap karena frekuensi pengangkutan yang tidak cukup memadai. 

Belum lagi keluhan cara armada pengangkut membawa sampah dari tempat penampungan sementara ke penampungan akhir. Sepanjang jalan ada saja sampah yang tercecer, menyeruakkan bau di jalanan. Di tempat pengolahan keluhan juga mencuat karena volume yang semakin menggunung, membutuhkan lahan yang semakin luas dan semakin mendekat ke pemukiman warga.

Artinya warga mengeluh atau protes karena pemerintah tidak cukup piawai mengelola sampah. Siapa yang mempersoalkan perilaku yang mendorong timbulan sampah yang semakin tinggi dari hari ke hari? 

Kembalikan ke NIMBY tadi, urusan timbulan adalah urusan domestik seseorang, pemerintah yang justru harus menyesuaikan diri. Ahli ekonomi sering menyebut fenomena ini sebagai tragedy of the common, tragedi yang merugikan semua justru karena semua ingin menghindar dari beban individual.

Saya tidak akan membahas tragedy of the common ini. Saya justru ingin kita melihat latar cara dari perilaku warga ini muncul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun