Sungguh telat menonton film asal Korea Selatan ini. Tayang pada 2016, saya baru menontonnya dua hari yang lalu. Film bertemakan mayat hidup selalu menarik. Dulu, era '90-setiap hari Sabtu di RCTI, kalau tidak salah, menayangkan film-film Zombi. Menontonnya sama sekali tidak ada rasa takut, hampir sepanjang film bakalan ketawa. Film mayat hidup lainnya, yang pernah ditonton, World War Z, Resident Evil, dan, yang belum selesai, The Walking Dead, selain enak ditonton, cukup berhasil di pasaran, begitu juga dengan Train to Busan.
Kesamaan film horor zombi adalah adegannya seru, menegangkan, seram, serta gigitan di leher. Train to Busan pun demikian. Sejak adegan kanibalisme di dalam kereta, sudah mulai menebak-nebak siapa dan berapa orang yang bertahan. Tebakan saya salah.
Tetapi, yang ingin saya soroti adalah pesan tidak langsung dari film ini. Di tengah film saya menyadari film ini sesungguhnya ingin menyampaikan tentang sifat tamak dan egois dari masyarakat kota, yang total mengabdi pada pemenuhan materi. Hidup di kota memang amat berat. Ini saya rasakan. Semakin berat ketika bekeluarga dan mempunyai anak. Kebutuhan semakin meningkat. Saya tidak bisa membayangkan jika istri tidak bekerja. Sudah bekerja saja, masih merasa kurang ini-itu. Pendapatan tiap bulan harus dipikirkan juga untuk kebutuhan sosial: undangan nikah, bela sungkawa, arisan. Untung saja ada BPJS, nggak worry kalau sakit.
Seok-woo, berprofesi manager keuangan. Berhasil secara materi, namun pisah dari istri. Dia mengurus anaknya, Su-an, dan ibunya. Meski tidak secara detail, tetapi cukup jelas dia bermasalah dengan istrinya. Tidak hanya itu. Seok-woo kurang peduli dengan pergaulan sosial. Dia protes ketika anaknya berbuat kebaikan di dalam kereta. Ketika zombi mulai menyerang penumpang dari satu gerbong ke gerbong lainnya, Seok-woo hanya peduli pada keselamatan diri dan anaknya. Dalam satu adegan, dia menutup pintu gerbang, padahal di depannya ada satu penumpang yang sedang bertarung untuk menyelamatkan istrinya yang sedah hamil
Keangkuhan Seok-woo mulai runtuh ketika dia ditolong oleh penumpang ketika hampir saja terkurung oleh kerumunan zombi. Dia mulai bersatu bersama penumpang lainnya mempertahankan hidup bersama-sama. Puncaknya, dia berkorban untuk anak semata wayangnya dan seorang perempuan hamil.
Zombi-zombi hanya perantara saja. Hanya pengantar pesan. Sikap individualistis masyarakat kota tidak punya nilai sama sekali di hadapan bahaya maut. Rasa sombong, angkuh, asosial, sejatinya ada pada diri manusia, tidak hanya manusia di kota, di pedesaan pun pasti ada tipe manusia seperti ini. Penekanan pada manusia kota karena kota menjadi episentrum kesombongan itu.
Saat ini, negara-negara di dunia sedang berjuang melawan virus corona yang menyebabkan ribuan korban jiwa, termasuk dari Indonesia. Selama anti virus belum ditemukan, maka stay at home atau physical distancing merupakan obat mujarab untuk mencegah dan menghentikan penyebaran virus. Implementasinya? Rumit. Bagi orang yang pendapatannya sudah pasti, tidak terpengaruh, tidak ada masalah. Kalaupun ada pengaruh terhadap gaji, setidaknya masih punya pendapatan tetap per bulan. Menjadi masalah bagi buruh harian lepas, supir angkutan umum, driver online, tukang gorengan, pembantu harian, penjual di pasar, dan lainnya. Diam di rumah tanpa ada kepastian hidup, adalah omong kosong bagi mereka.
Pandemi Covid-19 adalah perantara. Hanya pengantar pesan. Â Alam dengan cara misteriusnya hendak menegur keangkuhan dan kesombongan kita. Manusia yang sejatinya hanya penumpang, justru mengganggu dan merusak tempat tinggalnya: bumi. Ini momentum yang tepat untuk melihat kiri-kanan tetangga kita. Menyapa mereka. Membuka pintu dan pagar rumah yang selama ini tertutup rapat. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H