Mohon tunggu...
AMINAH SURABAYA
AMINAH SURABAYA Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Dengan menulis sesungguhnya kita diberi banyak kesempatan untuk belajar tentang hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sapu Lidi dan Lampion Kertas

7 Juni 2014   15:47 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:51 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SAPU LIDI DAN LAMPION KERTAS

Moko bergegas menaiki tangga menuju balkon lantai dua di sisi kiri. Langkahnya ditarik panjang-panjang seolah sudah tak sabaran. Ditempat yang dia tuju tersebut Moko akhirnya menghentikan kaki. Pandangan matanya lurus ke depan. Sekarang konsentrasinya benar-benar tertuju pada suara sapu lidi yang beradu dengan daun-daun kering. Sreeek….!! Sreeeek…..!! Sreeeeek!!!

Sejak kedatangannya di villa untuk berlibur, sepertinya sudah tiga hari ini Moko mendengarkan suara yang sama. Awalnya suara sapu lidi yang beradu dengan daun-daun kering tersebut terdengar tidak begitu jelas. Hanya samar-samar terbawa angin dari tempat yang jauh. Lalu pada hari kedua suara tadi mampu menggelitik rasa ingin tahunya yang begitu kuat. Sebab suara sapu lidi yang beradu dengan dengan daun-daun kering tersebut terdengar begitu dekat. Seolah-olah berada dibalik tembok saja.

“Aneh!!! Kok bisa. Padahal jaraknya begitu jauh. Kalau diukur kira-kira satu kilometeran,” gumam Moko memastikan. Bocah belasan tahun itu mengerutkan kening. Ekspresi wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa keheranannya itu lagi.

Dari kejauhan sana, Moko melihat seseorang yang tengah sibuk menyapu daun-daun kering yang berguguran ke tanah dengan sapu lidi. Meskipun badannya tampak timbul tenggelam terhalang dahan-dahan pinus dan pucuk-pucuk cemara, Moko bisa memastikan kalau dia seorang perempuan. Hanya saja kepekatanmalam tak memberikan ruang gerak lebih bagi Moko, untuk mendapatkan data lebih banyak lagi. Meskipun sudah dia coba menajamkan penglihatan matanya, namun tetap saja belum memuaskan rasa ingin tahunya tadi.

“Kenapa harus dia kerjakan tengah malam begini?” usik hati kecil Moko penasaran. Baginya sangat aneh dan tidak masuk akal. Bukankah pekerjaan tadi biasanya dilakukan orang pada pagi dan sore hari saja. Sebab bik Darmi, pembantunya di rumah, juga melakukan hal itu tiap pagi dan sore hari saja. Bukan tengah malam begini.

Belum terjawab teka-teki dibenak Moko, dari tempatnya berdiri sekarang ini tampak seseorang yang datang menghampiri perempuan tadi sambil membawa sebuah lampion kertas. Beberapa detik kemudian keduanya terlibat sebuah pembicaraan. Entah apa yang sedang mereka bahas. Setelah terlibat percakapan beberapa saat, keduanya serempak menatap tajam kearah Moko berdiri. Sebuah tatapan yang aneh. Entah apa arti tatapan itu. Srrrrh….!!! Darah Moko langsung berdesir. Tiba-tiba saja meluncur keringat dingin di keningnya.

“Kok bisa tahu aku ada disini,” Moko sontak menyurutkan langkah kebelakang menjauhi pagar balkon. Tubuhnya hampir menabrak tembok dibelakangnya. Sedetik kemudian dia terburu-buru menuruni tangga menuju kamar. Ditutupnya pintu kamar rapat-rapat dengan perasaan takut yang teramat sangat. Dia sembunyikan tubuhnya dibalik selimut tebal, sampai kelelapan menenggelamkan Moko dalam tidur malam.

Pagi harinya Moko terbangun setelah hawa dingin menyentuh bulu tengkuknya. Bocah belasan tahun itu membuka kelopak matanya satu persatu, meskipun rasa malas untuk beranjak masih mendominasi. Jadi yang dia lakukan hanya bermalas-malasan sejenak diatas ranjang. Tiba-tiba dia teringat pak Tambun. Setelah sarapan pagi Moko putuskan menemui lelaki itu.

Pak Tambun adalah penjaga villa keluarga Moko. Pak Tambun termasuk penduduk asli desa setempat. Lelaki itulah yang kesehariannya merawat dan membersihkan villa. Tidak heran jika pak Tambun tahu benar kondisi lingkungan yang ada disekitar villa. Itulah sebabnya Moko putuskan mengajak lelaki tua tersebut menyusuri jalan-jalan setapak yang ada disekitar villa atau desa setempat. Tampaknya ada sesuatu yang ingin dia cari dengan melakukan hal itu.

“Kalau yang den Moko maksud tadi, itu adalah jalan setapak menuju pemandian air panas. Sumber mata airnya cukup besar. Pemandangan alamnya juga sangat bagus. Tapi….”

“Tapi kenapa pak Tambun?” Moko menghentikan langkah. Ditatapnya wajah pak Tambun lekat-lekat. Seolah-olah dia begitu terusik dengan kalimat pak Tambun yang terdengar menggantung tersebut.

“Pohon-pohon di tempat itu sekarang sudah banyak yang ditebangi dan menjadi gundul. Dengar-dengar katanya akan dibangun wahana wisata baru disana. Ya semacam tempat liburan bagi orang-orang kota untuk menghabiskan uang mereka,” papar pak Tambun menjelaskan. Agaknya lelaki tua itu tidak begitu suka dengan proyek pembangun tadi. Hal itu terlihat jelas diraut wajahnya. Sebuah penolakan yang ujung-ujungnya hanya bisa dia lakukan dalam hati kecilnya saja.

Moko akhirnya mengerti akan keberatan dan penolakan pak Tambun. Sebab setelah sampai ditempat yang diceritakan pak Tambun tersebut, Moko melihat sebuah kesemrawutan dan ketidak nyamanan disana. Tampak bekas tebangan pohon disana sini. Entah itu pinus, cemara atau pohon-pohon lainnya. Semuanya jelas-jelas mengurangi keindahan alam dan termasuk dalam kategori merusak lingkungan. Sangat disayangkan jika hal seperti ini bisa terjadi. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan, untuk membesarkan sebuah pohon dengan diameter mencapai 2 meteran. Itu hanya untuk satu pohon saja. Sementara pohon yang sudah terlanjur tertebang begitu banyak. Jika dikalkulasi perjalanan waktu sang pohon yang sangat panjang tersebut, sekarang ini hanya menyisahkan serpihan dan bekas-bekas potongannya saja. Semuanya lenyap cuma dalam hitungan jam saja. Sungguh ironis!

Moko memutar badannya 90 derajat. Dengan sedikit mengerutkan kening dia menatap lurus ke depan sana. Entah apa yang ada didalam benaknya sekarang ini. Sebentar kemudian Moko menghela nafas panjang.

“Kenapa, den Moko?” Tanya pak Tambun penasaran.

“Dari tempat kita berdiri sekarang ini, ternyata villa kita tampak kecil. Hanya sebesar kepalan tangan orang dewasa saja. Tapi anehnya kok dari tempat ini, saya bisa melihat seorang perempuan tengah menyapu daun-daun kering dengan sapu lidi. Tengah malam pula” tutur Moko seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

“Seorang perempuan yang menyapu daun-daun kering dengan sapu lidi?”

“Iya.”

“Tengah malam?”

“Betul pak Tambun.”

“Kapan itu?”

“Tadi malam. Terus tak berapa lama kemudian datang seseorang menghampirinya dengan membawa sebuah lampion kertas. Setelah terlibat percakapan sebentar, keduanya menatap tajam ke arahku. Sepertinya mereka benar-benar terusik dengan kehadiranku. Semuanya sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa sejelas itu dalam penglihatan saya, padahal jarak yang sesungguhnya begitu jauh,” ucap Moko menceritakan kejadian yang dia alami semalam.

Sekarang ganti pak Tambun yang menghela nafas panjang. Raut wajahnya langsung bertukar warna.

“Biasanya warga desa sini kalau melihat sapu lidi dengan lampion kertas ditengah malam, itu pertanda akan datangnya sebuah bahaya besar. Semacam peringatan dini den Moko. Itupun hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat kejadian tersebut. Ya semacam ketua adat atau para sesepuh desa saja. Tapi kok sekarang den Moko bisa tahu ya?!” pak Tambun garuk-garuk kepala.

Penjelasan pak Tambun tadi pagi membuat tidur Moko tak tenang. Begitu gelisah. Meskipun sudah dicobanya untuk memejamkan mata, tetap saja hati kecilnya merasa tak tentram. Siang tadi secara tidak sengaja Moko mendengar pembicaraan papa dengan om Darius dan om Ivan. Teman bisnis papa. Sungguh Moko tidak menyangka kalau mereka bertigalah, yang menjadi pemilik proyek wahana wisata yang akan didirikan di dekat pemandian air panas itu. Selama ini papa memang tidak pernah menyinggung-nyinggung soal proyek tersebut. Jadi wajar saja kalau Moko tidak tahu menahu soal itu.

Sekarang Moko tahu kenapa sapu lidi dan lampion kertas itu menampakkan keberadaannya pada Moko. Sebab dia adalah anak salah satu pemilik proyek tadi. Kini Moko baru menyadari jika ada pesan yang ingin disampaikan lewat dirinya. Tapi sayangnya Moko tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan proyek tersebut atau menceritakan kejadian aneh tentang sapu lidi dan lampion kertas pada papa. Apalagi pada om Darius atau om Ivan. Mereka pasti akan mentertawakannya. Bukan tidak mungkin mereka hanya akan menganggap hal itu sebatas mitos belaka.

Moko memandangi langit-langit kamar dengan hati gamang. Wajahnya terlihat resah menunggu perputaran jarum jam yang ada di dinding kamar. Sekarang sudah mendekati pukul dua belas malam. Moko tidak tahu pasti, apakah malam ini suara sapu lidi itu akan muncul lagi ataukah tidak. Sebab diluar sana hujan turun dengan begitu deras. Bunyi petir yang terdengar bersaut-sautan seolah-olah ingin membelah kesunyian alam. Agaknya malam ini alam sedang tidak begitu ramah dengan manusia. Moko akhirnya tertidur pulas dibalik selimut tebalnya.

Pagi harinya dengan tergopoh-gopoh pak Tambun membangunkan Moko dari tidurnya.

“Semalam terjadi tanah longsor di dekat pemandian air panas itu. Tempat yang kemarin pagi kita datangi den Moko,” jelas pak Tambun.

“Tanah longsor? Seperti apa kondisinya?” Moko terbelalak.

“Cukup parah. Akses jalan yang menghubungkan tempat itu dengan tempat-tempat lainnya terputus total.”

“Wah, gawat!! Terus kita nanti lewat mana? Padahal jalan itulah yang dipakai jika ingin keluar masuk ke kawasan villa ini.”

“Masih ada jalan lain den Moko. Tapi terpaksa harus memutar arah dan melewati hutan yang jaraknya cukup jauh dan agak melambung dari biasanya.”

“Oh, begitu. Ternyata tanda-tanda bahaya yang diberikan oleh lampion kertas dan sapu lidi itu sekarang benar-benar terbukti. Jelas saja terjadi tanah longsor yang sangat parah disana, karena kondisi hutannya sudah gundul. Banyak pohon-pohon yang sudah ditebangi. Sehingga ketika hujan turun dengan derasnya, tidak ada lagi yang bisa menahan air dan akhirnya tanahlah yang tergerus ambrol menjadi longsor.”

“Itulah sebabnya kenapa saya tidak suka ada proyek pembangunan baru disana. Semuanya hanya akan merusak lingkungan saja. Apa yang selama ini saya takutkan ternyata sekarang ini benar-benar terjadi. Sebuah tanah longsor yang cukup parah,” pak Tambun menghela nafas panjang. Sepasang mata tuanya terlihat lelah dan menyimpan kekecewaan yang sangat dalam.

“Pantas saja semalam saya tertidur pulas dan tidak mendengar suara sapu lidi itu lagi,” gumam Moko pelan dengan perasaan ikut bersalah. Peristiwa yang terjadi hari ini punya makna yang teramat dalam baginya.

Hari ini juga papa mengajak Moko kembali ke kota, meskipun sebenarnya liburan sekolah masih tersisa tiga hari lagi. Sebuah waktu yang cukup luang untuk menghabiskan masa liburan, jika saja semuanya berjalan seperti yang direncanakan.

“Demi keselamatan. Papa tidak ingin terjadi apa-apa dengan kita. Apalagi musim hujannya masih cukup panjang. Menurut ramalan cuaca minggu-minggu ini adalah puncak musim hujannya. Jadi curah hujan tertingginya ya di hari-hari sekarang,” begitu kata papa memberi alasan, ketika menyuruh Moko untuk segera berkemas setelah makan siang.

Seminggu kemudian Moko mendengar berita kalau papa membatalkan proyek pembangunan wahana wisata, yang berada didekat pemandian air panas itu. Kondisi alamlah yang membuat papa dan rekan-rekan bisnisnya sepakat menutup proyek mereka.

Kabarnya mereka mengalami kerugian mencapai satu milyar rupiah akibat keputusan tersebut. Moko tahu papa sekarang ini menderita kerugian yang tidak sedikit jumlahnya. Tapi Moko yakin hal itu masih tidak sebanding nilainya, dengan kerugian ibu bertiwi akibat rusaknya hutan dan hilangannya keseimbangan alam justru akibat proyek tadi.Entah sampai kapan semua itu bisa dipulihkan kembali. Seperti sebuah luka-luka ditubuh kita yang pastilah akan meninggalkan bekas. Dan itu tentu saja akan sangat menyakitkan.

Pagi ini Moko dibuat kaget ketika melintas di halaman belakang. Ada sebuah sapu lidi dan lampion kertas teronggok dekat cemara udang yang ada disudut halaman belakang tersebut. Kedua benda itulah yang dia lihat sebelum kejadian tanah longsor di villa beberapa waktu yang lalu.

“Bik Darmi,” panggil Moko dengan suara agak teriak.

“Iya, Den,” perempuan paruh baya tersebut tergopoh-gopoh menghampiri Moko.

“Buang saja lampion kertas dan sapu lidi itu ke tempat sampah,” ucap Moko sembari menunjuk benda yang dimaksud. Setelah itu dia bergegas melangkahkan kaki tanpa menunggu jawaban dari bik Darmi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun