Mohon tunggu...
aminah umi khamidah
aminah umi khamidah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa ITTELKOM

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyakit Kematian

23 April 2013   21:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:43 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketahuilah bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemaren, dan impian hari ini adalah kenyataan diesok hari. Penyakit kematian adalah sebuah penyakit yang diderita oleh semua makhluk yang bernapas. Manusia yang dulunya hanya sebuah seperma dan sebuah seltelur yang dipertemukan dirahim bunda dan berkembang selama sembilan bulan didalam rahim. Kemudian terlahir menjadi seorang bidadari mungil tapi akhirnya mati dimakan penyakit kematian. Ataupun kisahnya biji yang ditanam lalu ditetesi embun pagi lalu berkembang menjadi kecambah tapi akhir mati termakan zaman juga. Ya, ini adalah sebuah penyakit yang tidak pernah mereka sadari bahkan akupun tak pernah menyadari sebelumnya.

Aku masih ingat jelas bagimana penyakit ini merenggut orang-orang yang kucintai. Penyakit yang terrus menggrogoti nafas ini, tanpa adanya obat yang dapat menyembuhkannya, bahkan dokterpun tak bisa berbuat apa-apa tentang penyakit ini. Ya, malam itu sangat jelas, seperti biasanya sehabis sholat subuh aku duduk didepan rumah sambil membaca al-qur’an, lalu tiba-tiba orang suruhan nenek datang kerumah dan mengabarkanku tentang berita nenek yang telah menghembuskan nafas terakhirnya baru saja. Perasaan ini bercampur aduk antara bingung, sedih dan kehilangan. Secepat kilat aku langsung memberitahukan bunda dengan suara yang tertahan ditenggorokan, aku coba menjelaskan berita buruk ini. Ya, ini adalah kedua kaliya aku melihat abah meneteskan air mata, aba juga pernah meneteskan air mata saat aku akan pergi kepondok.

Dengan kaki lemas aku datang kerumah saudara untuk mengabarkan hal ini karena mereka ga bisa dihubungi. Lalu ku datang kerumah nenek, suasana yang ceria seakan memelas dan rumah itu ikut berduka akan kematian si tuannya. Dengan langkah berat ku cuba untuk melihat jenazah nenek. Beliau begitu tenang seakan surga diwajahnya. Karena aku cucuk perempuan jadi aku memandikan nenek. Dengan rasa ga rela kucoba untk memandinya untuk terakhir kalinya.

Saat pertama ku melihat dunia ini, Ketika engkau melahirkan aku, ibu..Ku menangis mengsyaratkan bahagiaku..Melihat indahnya dunia ini..Beribu do’a ku ucapkan untukmu..Agar jiwa dan ragamu sehat selalu..Tak ada kata yang bisa kungkapkan..Untuk mengucapkan terimakasih ibu..Tanpamu ku tak mungkin ada..Tanpamu ku tak mungkin bisa berjalan..Melewati juta’an kisah hidup ini..Dengan ketegaran yang kau ajarkan..Ya allah ya tuhanku..Berikanlah beliau umur yang panjang..Kesehatan tubuh yang tak terbatas..Agar aku bisa berbakti kepadanya..Ibu.. oh.. ibu..Jasamu akan selalu ku ingat..Sampai kapanpun akan selalu ku ingat..Hingga ragaku tak bernyawa..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun