Dalam keterampilan berpidato, retorika memegang peranan yang sangat penting untuk kelancaran dan kesuksesan dalam berpidato. Retorika merupakan “art of speech” yakni suatu bentuk komunikasi yang diarahkan pada penyampaian pesan dengan maksud memengaruhi khalayak agar dapat memperhatikan pesan yang disampaikan secara baik. Dengan demikian retorika politik merupakan seni berbicara kepada khalayak politik, dalam upaya memengaruhi khalayak tersebut agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh komunikator politik. Retorika merupakan komunikasi verbal dan nonverbal yang memiliki unsur persuasi dengan daya pengaruh yang kuat dalam merayu publik(Heryanto dan Rumaru;2013:99)
Maka pidato yang sering dilakukan oleh seseorang merupakan sebuah bentuk dari retorika. Pernahkah anda menyadari bahwa terkadang kita tidak tertarik dengan apa yang dikatakan oleh orang yang sedang berpidato, dan terkadang kita sangat tertarik untuk mendengarkan pidato seseorang. Kemampuan bicara orang tersebut untuk dapat mencuri perhatian khalayak ini yang dimaksudkan sebuah seni dalam berbicara.
Penggunaan retorika dalam politik sendiri memiliki beberapa tipe, salah satunya adalah Tipe Forensik atau Tipe Manuskrip yaitu pidato yang dipersiapkan secara tertulis, pidato dengan naskah, atau orasi yang dilakukan dengan cara membacakan naskah pidato dari awal sampai akhir. Manuskrip sering dilakukan olah tokoh-tokoh nasional dan pejabat-pejabat. Mereka memilih tipe ini untuk menghindari kesalahan penyampaian makna kata yang dapat menyebabkan kekacauan dan berakibat jelek bagi pembicara.
Seperti itulah yang dilakukan oleh Ibu Iriana Jokowi saat mengimbau para istri Gubernur, Wali Kota, dan Bupati agar ikut mendampingi para suami mereka untuk blusukan dan bertemu langsung dengan masyarakat. Ibu Iriana meminta para istri kepala daerah berperan aktif mendukung suami masing-masing. Namun, ditengah-tengah pidatonya, Ibu Iriana baru menyadari bahwa salah satu kertas pidatonya hilang. Lebih disayangkan lagi Ibu Iriana ternyata lupa isi dari lembaran yang hilang tersebut dan memutuskan untuk menyudahi pidatonya. Ini merupakan salah satu kekurangan tipe manuskrip, dimana pembicaranya terlalu mengacu pada teks.
Kejadian seperti ini sangatlah disesalkan, seharusnya Ibu Iriana telah memahami isi pidatonya dengan kompleks dan menyelesaikan pidatonya bukan menghentikannya. Semua orang harus belajar dari kejadian ini. Bagaimana jika kejadian ini terulang lagi namun dalam ruang lingkup yang lebih luas, pidato internasional mungkin, bukan hanya pembicara yang malu tetapi Indonesia juga malu.
Dalam berpidato, cara yang paling pas adalah dengan menggunakan tipe Ekstemporer dimana tipe ini juga merupakan jenis yang paling baik dan sering digunakan. Orasi telah dipersiapkan sebelumnya berupa out line dan pokok-pokok penunjang pembahasan, pembicara tidak perlu mengingat kata demi kata, cukup berpegang pada out lineuntuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran. Tipe Ekstemporer ini membutuhkan pengalaman dan pengetahuan serta latihan yang cukup. Mengutip dari pepatah latin yang artinya,barang siapa yang berkerja tanpa persiapan, akan jatuh dengan kehilangan kehormatan.
Dengan menggunakan tipe Ekstemporer, interaksi dengan pendengar akan lebih terasa fleksibel, spontan dan lebih baik dibandingkan Manuskrip yang begitu kaku. Selain tipe Ekstemporer ada juga tipe Memoriter, dimana pembicara mengingat tulisannya kata perkata. Lalu, ada juga tipe Impromtu yaitu mengungkapkan perasaan pembicara karena pembicara tidak memikirkan terlebih dahulu pendapat yang disampaikan. Tipe ini tidak bisa digunakan dalam pertemuan formal.
Nama : Amina
NIM : 07031281520188
Mata Kuliah : Komunikasi Politik
Dosen : Nur Aslamiah Supli, BIAM. M.Sc