Mohon tunggu...
Amilatur Rohma
Amilatur Rohma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Physics Student | Content Writer | Social Media Enthusiast

A Marketer who enthusiasting on writing. Menulis untuk menyampiakan hal yang tak mampu diucapkan oleh lisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sudahi Menunggu Viral Dulu Baru Mau Berbenah

17 Desember 2022   11:14 Diperbarui: 17 Desember 2022   11:21 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Ilustrasi individu yang reaktif daripada berjaga-jaga (istock)

Harus viral dulu baru diusut

Harus viral dulu baru diproses

Harus viral dulu baru ada perbaikan

Tidak viral, tidak ada evaluasi, tidak ada keadilan

Eits, satire sekali tapi hal diatas memang sering terjadi. Tanpa sadar kita berada pada era dimana media sosial memegang kendali atas semua hal yang terjadi. Segalanya ada di media sosial. Bahkan keberadaannya akhir-akhir ini seakan lebih canggih dari detektif dan jadi 'whistleblower' atau saksi pelapor yang memberi sinyal di mana lokasi masalah yang harus diusut tuntas setelah viral. Bukan tanpa alasan. Kalau kita ingat kembali beberapa kejadian yang terjadi dalam negeri seperti penembakan kucing, ospek mahasiswa, penganiayaan orang terkenal hingga pelecehan seksual di kampus semuanya akhirnya terungkap setelah informasinya viral di media sosial.

Hal tersebut adalah contoh yang besar dalam level organisasi atau institusi. Sebenarnya dalam lingkup individu pun kita seringkali tutup mata dan tutup telinga terhadap masalah dan jika ada keluhan dari orang lain baru berbenah. Tanpa sadar kita sering jadi individu yang reaktif daripada 'do something better' untuk berjaga-jaga. Misalnya, mengerjakan tugas tapi plagiat kalau ketahuan baru meminta maaf, memberikan kontribusi seadanya pada pekerjaan kalau dievaluasi buruk baru berusaha, menghilang dari tanggung jawab tim, kalau atasan marah baru muncul. Maka, patut kita bertanya kepada diri kita sendiri, "Memang sesusah itu ya untuk memenuhi tanggung jawab baik di level individu sampai di level lebih tinggi?".

Menurut psikoanalisis Sigmund Freud, bentuk penyangkalan terhadap tanggung jawab memiliki beberapa jenis dan tahapan. Ada 4 tahapan Denial of Responsibility bagi mereka yang tidak suka dikoreksi.

1. Denial of Fact, yaitu menolak kalau kesalahan itu terjadi. Dalam hal ini, seseorang biasanya menggunakan kebohongan untuk menghindari fakta yang ada dengan mengatakan hal seperti, "Engga kok, itu salah, kamu salah".

2. Deniall of Impact, yaitu berusaha mengurangi dampak dari kesalahan yang dilakukan. Mereka akan mencoba untuk menyangkal konsekuensi yang mungkin ada dengan mangatakan, "Bukan masalah besar, tenang aja, ga usah terlalu dipikirin", dsb.

3. Denial of Accountability, yaitu berusaha menghindari tanggung jawab atas kesalahan melalui semacam penjelasan kalau keadaan itu terjadi di luar kendali orang tersebut misalnya, "Ini kan bukan urusan gue, ini bukan tanggung jawabku, gue ga ikut-ikut".

4. Denial of Hope, yaitu menolak untuk bersedia melakukan tindakan yang bisa memperbaiki situasi. "Saya khilaf, udah terjadi mau gimana lagi, gue manusia yang ga bisa sempurna", kalimat-kalimat seperti inilah biasanya diucapkan oleh seseorang untuk mencoba mengelak dari memperbaiki kesalahan.

Sampai kapan keadaan seperti ini terus terjadi. Jika harus menunggu viral terlebih dahulu, lantas kapan kita sepenuhnya akan sadar terhadap tanggung jawab? Yuk, sebelum viral dan kena koreksi lebih baik kita evaluasi diri kita sendiri-sendiri.

Sebaiknya evaluasi jangan dilakukan hanya sebagai formalitas yang semua hasilnya positif. Ada kalanya kita harus evaluasi 360 derajat dengan meminta pendapat, masukan dari rekan kerja, teman atau keluarga.

  • Tidak perlu menunggu viral

Penting banget untuk kita memiliki complain handling process dan menyelesaikan masalah satu per satu tanpa ada penyangkalan, bantahan apalagi lari dari situasi. Ingat, tidak ada masalah bukan berarti segalanya aman-aman saja. Jadikan itu peringatan karena jika ada masalah maka artinya kita punya sesuatu untuk diimprove.

  • Be Gentle, mau mengakui kesalahan sendiri

Di level individu, selalu lakukan evaluasi diri dengan jujur mengakui kelemahan diri sendiri dan bertanya feedback dari orang lain apakah pekerjaan yang kita lakukan sudah sesuai harapan atau tidak. Hal yang terpenting adalah berusahalah berani untuk meminta maaf dan berikan solusi perbaikan apabila memang kita melakukan kesalahan dan tidak 'cuci tangan' apalagi mencari kambing hitam.

Jika media sosial selalu jadi cara mencari keadilan untuk mendapatkan ruang maka artinya viral based country benar adanya. Tentu kita tidak mau hal itu terjadi. Seperti pepatah, "Lebih baik mencegah daripada mengobati", tidak perlu menunggu ketahuan baru berbenah, tidak perlu menunggu kesalahan tersebar baru meminta maaf. Terkadang meminta maaf walaupun sama sekali tak bersalah itu jauh lebih baik daripada sudah jelas berbuat salah tapi bahkan tidak mau mengakui apalagi meminta maaf dengan kerendahan hati. Sudah waktunya untuk kita viral dalam hal yang menginspirasi bukan menyedihkan hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun