Mohon tunggu...
Amila K.
Amila K. Mohon Tunggu... Freelancer - Cappucino latte

Pelajar| Universitas Islam Negeri Malang | Jangan biarkan hal kamu suka menguap di udara, take action| Lahir di kota Bersinar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Telah Berpulang

12 September 2019   08:08 Diperbarui: 12 September 2019   08:12 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia kembali melepaskan putra terbaiknya. Seorang ilmuwan hebat kelas internasional menghembuskan nafas terakhirnya.Pesawat itu kini lepas landas tanpa berjanji untuk kembali.
Dulu, terkenal kecil dan dekil.
Tidak ada menyana kelak menjadi fisikawan ibu pertiwi.
Peluh dan darahnya mengalir deras untuk negeri ini.
Dialah sosok yang tak pernah gentar, senantiasa tegak, tak pernah merasa kerdil dihadapan sekelompok raksasa.
Jiwa yang besar, tekad yang kuat, semangat yang membara, mata yang selalu berkilat membuat siapapun menjadi bukan siapa-siapa.
Dia sosok sederhana.
Dengan langkah kakinya mampu menciptakan kapal udara.
Dengan pemikiran desa mampu membawa Indonesia dikenal seluruh mancabenua.
Dialah, guru besar masyarakat Indonesia.
Dialah sang dirgantara Indonesia.
Dialah Prof. Dr. Ing. H. BJ. Habibie.
Seorang anak petani.
Yang tidak pernah memiliki mimpi menjadi orang nomer saru di negara ini.
Seorang nasionalis.
Yang pernah berada dalam gempita kekacauan Indonesia.
Dia hanyalah seorang anak yang memiliki mimpi untuk bisa terbang tinggi.
Membawa seluruh rakyat Indonesia melihat dunia.
Memperkenalkan kepada dunia bahwa Indonesia pantas menjadi negara istimewa.

Sayang, seribu sayang.
Rudy kini berpamitan.
Melambaikan tangan terbang menuju kekasihnya.
Dia tidak akan pulang ke tanah airnya, Indonesia.
Karena darah, peluh, dan tubuhnya adalah Indonesia.

Selamat jalan, eyang.
Tidak akan ada yang mampu menghapus jejak abadimu.
Tidak akan yang mampu menandingi kecintaanmu untuk negeri ini.
Tidak ada yang sanggup tegar ketika engkau pamit pergi.
Namun, takdir tetaplah takdir.
Cepat lambat pasti akan kembali.
Selepas engkau pergi.
Semoga cintamu pada Indonesia senantiasa mengakar dalam hati kami.

Semoga tenang disana, eyang.
Tuhanmu merindukanmu, bu Ainun menunggu hadirmu.

(Malang, 11 September 2019 22:37)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun