Bukan Tere Liye namanya jika tidak membawakan alur yang membuat jantung berdebar-debar. Setiap partnya selalu mengundang penasaran pembaca. Bahasa yang digunakan pun sangat ringan dan mudah dipahami. Banyak kalimat-kalimat nasehat terlebih ketika Bujang terlibat percakapan dengan Tuanku Imam. Penggalan ini yang paling saya suka.
“Dalam perkara shalat ini, terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia tetap harus shalat, kewajiban itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat yang ke-berapa, dia akhirnya benar-benar berubah. Shalat itu berhasil mengubahnya.” (halaman 86).
Dan juga yang tidak kalah menariknya ketika Salonga bercerita perihal dua petani yang juga sarat akan makna yang luar biasa. Adegan yang diusung tidak membosankan. Kekonyolan Yuki dan Kiko, si menyebalkan tua bangka Salonga, dan masih banyak lagi adegan yang bakalan mengocok perut kalian dan mata kalian berasa di oles bawang merah. Novel ini terdapat anjuran bagi pembaca usia diatas 15 tahun. Karena didalamnya terdapat adegan kekerasan dan pengenalan benda-benda tajam yang kurang cocok untuk anak-anak. Mungkin bagi saya itu poin plus nya. Untuk usia dibawah 15 tahun pola pikir anak masih rawan jika disuguhkan bacaan yang tidak sesuai dengan cerita yang sesuai dengan usianya. Dan terakhir, bagi penikmat novel yang menyukai genre action yang berbau romance, tidak mencolok sangat direkomendasikan.
Kekurangan
Tidak ada manusia yang sempurna. Pun tidak ada karya yang lahir tanpa salah setitikpun. Dari awal part saya sudah dijumpai berbagai bahasa asing yang tidak pernah saya tahu sebelumnya. Mungkin karena belum pernah belajar bahasa itu. Meskipun ada beberapa kalimat penerjemah setelahnya, semakin ke belakang tidak ada panduan. Bagi saya pribadi mungkin itu bisa dimaklumi, karena saya lebih cenderung fokus ke alur dari pada bahasa. Mungkin menurut sebagian orang ada yang merasa terganggu dengan kehadirannya. Disisi lain tidak ada panduan cara membacanya, jadi terkesan rentetan kalimat itu menjadi tidak ada manfaatnya ketika orang lain tidak bisa membaca. Selanjutnya, terkait ending cerita. Mungkin, penulis bermaksud memberika ruang bagi pembaca untuk melanjutkan sendiri bagian ceritanya, leluasa berimajinasi atas apa yang akan dilakukan Bujang selanjutnya. Namun, terkadang orang lain juga berpikir bahwa ending cerita ini kurang tuntas dan terkesan menggantung. Meskipun begitu secara keseluruhan cerita yang disajikan tersusun rapi dan apik.
Semoga resensi singkat ini bisa memberikan sedikit gambaran buat kalian yang ingin menikmati petualangan Bujang dalam menemukan makna pergi.
Salam hangat ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H