Mohon tunggu...
Amila K.
Amila K. Mohon Tunggu... Freelancer - Cappucino latte

Pelajar| Universitas Islam Negeri Malang | Jangan biarkan hal kamu suka menguap di udara, take action| Lahir di kota Bersinar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bumiku Meninggal

21 Agustus 2018   11:37 Diperbarui: 21 Agustus 2018   11:46 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bumiku menangis. Lautanku mengering. Tanah berpijak tak lagi layak. Gerongan demi gerongan sengaja ditanam. Rerumputan hijau meninggal dunia.

Bumiku meraung. Langit menyeru. Udara panas. Polusi si pembunuh itu. Mulai merayap menekik leher pelintas roda jalanan. Mereka murka.

Bumiku mengemis. Minta dikembalikan. Minta dibersihkan. Minta disterilisasi ulang. Minta tumbuh subur tanpa hama disekitar. Langit teriris.

Bumiku malang. Nyaris punah. Nyaris pindah rumah. Mengakhiri usia tidak berguna. Diplokoto hingga lupa dirinya menua. Bertahan gagah.

Bumiku, maafkanlah. Hanya mentari ufuk barat yang peduli. Menjemputmu menyerahkan diri. Mereka menunggu. Kapan kamu mati.

Biarkan saja. Hanyut dalam emosi. Sedang kau pergi. Akan bergegas dicari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun