Mohon tunggu...
amie retna wulan dewi
amie retna wulan dewi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Saya seorang wiraswasta yang semula menjadi karyawan swasta. Hobi saya menulis, membaca, dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan "Telat" Menikah, Apakah Salah?

13 September 2018   22:56 Diperbarui: 14 September 2018   07:41 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernikahan adalah sebuah momen yang sangat berarti dan tak terlupakan bagi setiap pasangan. Dan bagi perempuan, seringkali Pernikahan menjadi sesuatu hal yang "didambakan" dan dinantikan dalam perjalanan hidupnya. Karena selain memiliki "pasangan hidup", diharapkan hadir pula "buah hati" hingga bisa membentuk sebuah keluarga yang utuh. 

Namun bagaimana bila seorang perempuan justru dianggap "telat menikah" atau tak kunjung mendapatkan jodoh dan melangsungkan sebuah pernikahan pada usia tertentu? Sebenarnya tak ada "patokan resmi" atau standar tertentu berapa idealnya usia perempuan untuk menikah. Apalagi bila disesuaikan dengan perkembangan zaman saat ini.

Jika dulu saat zaman ibu-ibu kita menikah, usia 20 tahun mungkin dianggap "telat" menikah, karena saat itu lazimnya perempuan menikah di usia belasan tahun. Namun saat memasuki zaman modern seperti sekarang, tentu hal tsb sudah tidak berlaku lagi. Dimana usia 20 tahun justru adalah usia "kuliah"(atau kursus dan sejenisnya) bagi sebagian perempuan, dan bagi sebagian lain yang tidak kuliah mungkin sedang memulai bekerja. Namun ada juga perempuan yang sudah menikah saat baru lulus SMA. 

Jadi berapa usia ideal perempuan modern untuk menikah? 23-25 tahun? atau antara 25-30 tahun? Dan usia berapa pula perempuan dikatakan "telat menikah"? 30-35 tahun? Atau 35-40 tahun? Atau 40 tahun ke atas?

Setiap orang mungkin punya persepsi dan argumentasi masing-masing tentang hal tsb. 

Namun yang pasti, bagi perempuan yang belum menikah di usia tertentu yang mungkin bagi pandangan masyarakat awam dianggap "telat menikah", menyandang predikat tsb tentu bukan hal yang mudah. 

Apalagi bila kemudian diberi embel-embel "Perawan Tua", atau "Jomblo Tak Laku", tentu hal itu membuat tidak nyaman. Terutama bagi yang sehari-hari tinggal di lingkungan masyarakat "biasa", atau tinggal di kota kecil, yang karakter masyarakatnya masih "penuh perhatian" bahkan sampai pada kehidupan pribadi seseorang. 

Perempuan yang dianggap telat menikah seringkali dianggap hal yang janggal, atau malah "tabu". Bahkan sering menjadi bahan pergunjingan sehari-hari. Biasanya para kaum ibu-ibu seringkali berkumpul di warung atau di tempat tertentu membicarakan topik tertentu yang dianggap menarik, salah satunya mungkin tentang perempuan yang telat menikah di lingkungan mereka. Bahkan bila kebetulan "Si Perempuan" tsb lewat di depan mereka, tatapan mereka pasti akan kompak menyelidiki Si Perempuan.

Lain halnya bila tinggal di kota besar yang kebanyakan masyarakatnya individualis, atau tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat banyak, menyandang status lajang di usia tertentu mungkin tidak akan menjadi "beban perasaan" atau malah "beban moral" bagi mereka. 

Lalu mengapa seorang perempuan bisa sampai mengalami kondisi tsb? Mungkin akan banyak "teori" yang menyebutkan faktor penyebabnya. Mulai dari terlalu sibuk mengejar karir atau menuntut ilmu dan jenjang pendidikan yang tinggi, terobsesi untuk memajukan atau memuliakan keluarga (misalnya ingin me"naik haji"kan orangtua atau menyekolahkan adik-adik), mengalami trauma psikologis tertentu(baik karena masalah percintaannya ataupun masalah orangtua), terlalu pemilih(atau mematok standar tinggi dalam memilih pasangan), terlalu menutup diri, belum menemukan kecocokan dalam menjalani hubungan, hingga berbagai masalah lain yang dialami. Tentu semua itu tidak bisa "dipukul rata" pada semua kasus dan kepada setiap perempuan yang mengalaminya.

Kadang kita sering bertanya-tanya, mengapa perempuan yang kita lihat seakan "punya segalanya", cantik, berkepribadian baik, pintar, berpendidikan tinggi, karir cemerlang, pergaulan luas, status sosial tinggi, mapan, matang, mandiri, dsb, namun belum menikah, dan bahkan tak punya pasangan kekasih. Apa mungkin si perempuan tsb tidak menjadikan menikah sebagai "prioritas utama", ataukah para pria yang terlalu "segan" untuk mendekati tipe perempuan seperti itu? Karena konon katanya laki-laki tidak ingin terkalahkan "ego" dan harga dirinya di depan perempuan, sehingga bila melihat perempuan yang memiliki segala-galanya justru mereka malah "malas" untuk mendekati? Atau malah kaum laki-laki tidak cukup "Percaya Diri" bila berhadapan dengan perempuan tipe tsb? Sehingga yang terjadi seakan menjadi "ironi" bagi si perempuan. Layak dikagumi namun tak layak untuk dimiliki?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun