Maraknya film horor selama beberapa tahun ini, baik film nasional maupun film hollywood dengan berbagai jenis cerita, mungkin menarik perhatian sebagian orang, baik pecinta film ataupun bukan, namun tidak bagi saya. Alasannya sederhana, karena saya tidak suka film horor.
Baru melihat posternya pun saya sudah takut. Terbayang di benak saya bagaimana aura mistis dalam film tsb, suasana gelap gulita, lengkap dengan musik dan suara-suara "seram" yang mengiringinya, yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Apalagi kalau saya harus menontonnya!Â
Jadi seberapa bagus cerita filmnya, seberapa cantik atau ganteng pemainnya, seberapa keren akting pemainnya, dan seberapa laku film tsb pun, saya tetap tak tertarik untuk menonton film horor, tanpa terkecuali.
Lalu kenapa saya membandingkan pelajaran "Eksak" dengan film horor? Alasannya sama, karena saya tidak suka dan takut dengan pelajaran tsb, sama seperti kesan saya pada film horor!Â
Meski masa sekolah telah begitu lama saya tinggalkan, namun kesan saya pada pelajaran Eksak tsb seakan tak lekang oleh waktu. Mungkin kesan saya ini mewakili sebagian orang lain, yang sama mengalami "phobia" atau malah "trauma" pada pelajaran Eksak, yang juga disebut sebagai "Ilmu Pasti".
Sebenarnya saya tidak tahu sejak kapan saya merasa phobia pada pelajaran Eksak. Karena ketika masih SD, saya yang waktu itu kebetulan menjadi "langganan" Juara Kelas, tak mendapat masalah berarti dalam menguasai pelajaran sekolah. Semuanya baik-baik saja, termasuk pelajaran Matematika dan IPA, yang merupakan bagian dari pelajaran Eksak.
Namun secara perlahan saya menyadari, dibandingkan dengan bidang pelajaran lain, 2 bidang pelajaran tsb ternyata bisa disebut paling "lemah" bagi saya dan kalah oleh anak lain yang berada di ranking 3 besar, yang semuanya sama-sama anak perempuan.
Karena itu ketika ada Lomba Cerdas Cermat (LCC) untuk 3 Jenis Mata Pelajaran yaitu Matematika, IPA, dan IPS Terpadu(perpaduan antara pelajaran IPS, PPKN atau PMP, dan Bahasa Indonesia) di Kompleks Sekolah SD saya (yang jumlah seluruhnya 8 buah SD dan dibagi 2 shift) yang diwakili oleh anak yang masuk Ranking 3 Besar, dengan mantap saya memilih IPS Terpadu dalam LCC tsb. Sedangkan pelajaran Matematika justru diwakili oleh anak Ranking 3, dan IPA diwakili oleh anak Ranking 2. Â Sebuah "komposisi" yang aneh, karena anak Ranking 1 malah memilih IPS Terpadu!
Namun "pilihan" saya tsb ternyata tidak salah. Saya berhasil lolos di tingkat Kompleks SD untuk pelajaran IPS Terpadu, sedangkan 2 teman sekelas saya yang lainnya tidak. Kemudian setelah ditandingkan dengan Kompleks SD lain yang masih satu rayon, lagi-lagi saya menang dan berhak tampil di Tingkat Kecamatan. Ternyata di Tingkat Kecamatan saya lolos lagi, dan akhirnya saya maju ke Tingkat Kabupaten.Â
Namun di Tingkat ini saya hanya meraih Juara Harapan 1 atau Juara 4. Meski begitu, saya tetap merasa senang dan bersyukur karena perjuangan untuk sampai ke tingkat tsb tidaklah mudah.Â
Sebenarnya dulu ketika zaman sekolah, saya tidak pernah membeda-bedakan bidang mata pelajaran apapun. Semuanya saya pelajari dengan sungguh-sungguh. Namun entah kenapa, "otak" saya yang justru memposisikan dengan sendirinya. Dan ketika memasuki masa SMP dan SMA hal tsb seakan terlihat nyata.