Oleh: Moh. Amir
Jalan berembun basah tanpa harapan
Kita mengenal hanya ada tujuh bentuk angka di belakang delapan
dan angka Sembilan setelahnya
Sampai sekarang tertempel di papan menancap
di halaman lamunan seorang bajingan
itu yang diajarkan oleh jejak
Ya! Aku bajingan
Lantai 21 gedung itu tertimbun khayalan
Hanya ada ide dan pemikiran yang menganggap dirinya sebagai relawan
Mungkin ini saat dimana hujan tak lagi menjadi buruan para pencangkul
Untuk menumbuhkan tanaman yang hilang dimakan buasnya kekuasaan
Wahai orang-orang yang ditinggikan!
Akulah seorang bajingan, yang selalu kau anggap mengganggu kestabilitasan alam
Aku akan buktikan, tepat di jantung dustamu tertusuk pisau yang lapar
Bukan untuk merenggut nyawamu
Tapi, hanya memilah bagian dalam tubuhmu
Wahai orang-orang yang telunjuknya memiliki kesaktian!
Perlukah aku memanggil nama Tuhan dengan khidmat, lantaran biaya makan tak memungkinkan
Oh Tuhan! Kau hanya menjadi tempat pelarian manusia bajingan
Terkadang pula kau menjadi bahan olokan, lalu makian, lalu dan lalu
Sampai saat dimana keringat tak akan lagi mengucur di tubuh
Tersimpan dalam peti kematian
Ya! Itu aku bajingan!
Bandung, 18 Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H