Azmi Azhari
Sebuah nama dan refleksi diri. Ketika orang lain yang mengenal dia mendengar namanya pasti dalam fikirannya terbayang sesuatu. Entah yang baik atau yang buruk. Tergantung bagaimana prilaku dia terhadap orang itu. Aku sendiri mengenalnya dengan baik karena aku adalah dirinya.
Aku akan memperhatikannya dengan seksama. Badannya yang lumayan gede, berisi, dan aku menilainya ganteng. Aku melihatnya dalam cermin kamarku sendiri. Itu adalah dia, sosok yang berbeda dari siapapun di dunia ini. Aku mengenalnya sejak dirinya dilahirkan di dunia. Sifatnya memang agak sedikit bergantung pada “mood”, entahlah karena apa. Meskipun telah banyak cara untuk menghilangkan sifat itu, tapi masih saja sulit katanya. Ada pelajaran yang aku ambil darinya yaitu aku mengerti bahwa aku harus mengerti dia. Aku ada dalam dirinya, dan aku harus menerima dia apa adanya. Dia banyak sekali kekurangan dan kelebihan. Aku tak bisa menjelaskan karena aku tak mau orang lain mengganggu kehidupan kita. Aku dan dia telah bersahabat sekian lama.
Aku mencintainya sepenuh hati, walau terkadang aku kecewa dengan sikapnya yang suka berubah-ubah. Kadang rajin, kadang malas, kadang semangat, terkadang lagi lunglai gak jelas, tapi hatinya selalu sadar bahwa itu adalah dirinya. Bukannya bermaksud untuk pasrah. Tapi, menurut pendapat orang, konsep memahami diri sendiri akan berwujud kepada rasa syukur yang teramat dalam. Syukur akan telah diberikannya nikmat Allah. Tuhan kita.
Aku tahu, banyak sekali keinginan yang ingin dia capai. Tapi, hanya sedikit yang terkabulkan. Bukan sedikit sih, tapi lumayan banyak. Ah, tidak, sudah banyak ko keinginan yang dicapainya. Berbagai kebahagiaan seperti memiliki badan yang lengkap, indra yang sempurna dan kenikmatan kesehatan serta iman telah dimilikinya. Kami akan selalu bersyukur kepada tuhan atas segala anugrah yang diberikan.
Sifat manusia adalah tak pernah puas. Itu yang aku rasakan bersamanya. Setiap hari pasti ada keinginan yang baru, entah dari keinginan materi dan barang kepunyaan, keinginan untuk lebih sukses, atau bahkan keinginan untuk memperoleh ilmu dan hal-hal yang baru untuk membuatnya “nggak” jemu. Iya itu dia sesuatu yang baru. Meskipun sulit, tapi kami selalu berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru. Mulai dari membaca, menonton film, sampai dengan menulis dan berbagi kepada orang lain.
Menulis itu ibarat kebutuhan yang harus di turuti. Aku mengenalnya. Setiap hari pasti saja ada hal yang ingin ia tuliskan. Tapi, karena suatu hal ia tidak menuliskannya. Ia kecewa dan menyesal. Itulah, dia. Aku harus mulai mengerti. Bahwa dengan menulis hidupnya terasa lebih berbahagia. Karena dengan menulis, ilmu akan tersimpan. Dan ketika ada rekan yang membaca dan memanfaatkan ilmunya, niscaya akan menjadi pahala yang tak ternilai mengalir, layaknya air yang menyejukkan.
Aku akan terus bersamanya setia, bersahabat dan terus berjuang berkarya. Aku mencintainya sepenuh hati dan tak pernah menyesal. Mulai saat ini aku akan menerima dia apa adanya.
Sekarang, bagaimana dengan anda kawan?
Salam, Azmi Azhari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H