"Kebo Nyusu Gudel" pernahkah anda mendengar pepatah Jawa ini? Belum pernah mendengar atau belum mengerti artinya sama sekali? Kebo Nyusu Gudel artinya kerbau yang menyusu pada anaknya (gudel=anak kerbau). Pepatah ini memiliki arti bahwasanya seseorang yang lebih tua kadangkala harus mau belajar atau berguru pada  orang muda bahkan anak kecil sekalipun.
Kebanyakan dari kita orang tua, merasa menjadi makhluk dewasa yang lebih tahu dari anak-anak yang umurnya notabene di bawah kita. Orang tua juga kadang merasa lebih banyak makan asam garam kehidupan atau memiliki pengalaman hidup lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak sehingga beranggapan ilmunya jauh lebih banyak dari anaknya. Seringkali anak-anak menjadi obyek sasaran pemaksaan sebuah kehendak orang tua. Anak-anak tidak diberi kesempatan untuk menolak dengan alasan-alasan yang sebenarnya masuk akal. Tapi karena orang tua memiliki ego yang besar untuk memaksakan pendapat dan kehendaknya pada anak-anak, maka alasan yang masuk akal pun tidak akan diterima jika datangnya dari anak-anak. Orang tua lebih "pintar" dari anak-anak, itu prinsipnya.
Mana ada sih orang tua yang tidak ingin anaknya sukses? Kalimat sakti ini yang kerapkali menjadi salah satu alasan mengapa para orang tua merasa berhak mengatur anak-anak. Maka tidak heran, lihat saja akhir-akhir ini, anak-anak seperti tidak berdaya mengikuti kemauan orang tua untuk ikut les ini itu demi sebuah "prestise" di mata orang tua yang lain. Juga menjadi obyek kemarahan orang tua jika mereka mendapatkan nilai rapor yang tidak sesuai dengan target. Menimpakan kesalahan sepenuhnya pada mereka karena tidak bisa masuk ke sekolah favorit pilihan orang tua. Bahkan sampai memilih jurusan di perguruan tinggi orang tua merasa harus ikut andil karena orang tua lebih tahu soal ini. Sebuah paradigma berpikir kaum tua yang sudah berlaku turun temurun.
Namun ternyata kedewasaan berpikir bukan dominasi kaum tua yang sudah kenyang dengan pengalaman hidup. Saya melihatnya sendiri bagaimana anak-anak kadang memiliki cara berpikir lebih dewasa dari kita yang dewasa. Sebuah komentar di dinding Facebook anak saya menyadarkan saya bahwa ternyata cara berpikirnya melampaui saya, ibunya. Pandangan soal nilai yang selama ini saya anggap sebagai satu-satunya indikator kesuksesan akademis.
Dia memang mendapatkan nilai tertinggi di kelas dan komentar ini merupakan jawaban dari sebuah ucapan selamat seorang temannya. (Saya copas dari FBnya)
"Neng selamat yaaa nemnya tertinggi diantara kitaa ^^."
"Iya terima kasih:) Tapi yg penting, nilai itu kebutuhan pendidikan nomer 2^^ Nilai kan g dibawa smpe mati kan?? walaupun nilai itu dibutuhkan dimasa depan, tapi ILMU lah yg dibawa smpe mati dan dibawa ke masa depan;) jadiiii jangan kecewa cuma karena nilai, boleh kecewa tapi utk sekedar dijadiin penyemangat belajar=))"
Poinnya bahwa bukan nilai (angka) yang seharusnya kita tekankan. Bukankan mencari ilmu tidak sama dengan mencari angka? Angka bisa dimanipulasi dengan cara apapun misalnya dengan mencontek atau membeli kunci jawaban seperti dalam UN. Tapi jika ilmu yang kita kuasai, otomatis angka yang diperoleh akan menyesuaikan. Yang bermanfaat sesungguhnya adalah ilmu, bukan angka yang sempurna.
Ahh.... saya ternyata baru menyadari bahwa cara berpikir saya salah soal nilai. Saya terlanjur mengikuti paradigma kebanyakan orang tua. Ternyata saya memang tak lebih dewasa dari anak saya yang berumur 15 tahun. Mengingatkan saya pada sosok Dewa Gilang yang cerdas dan tulisan-tulisannya terlihat sangat dewasa sehingga banyak orang yang meragukan umur Gilang yang katanya masih 15 tahun. Namun sekarang saya pun harus mengakui kedewasaan berpikir bukan lagi terletak pada umur. Banyak orang dewasa yang berpikir kekanak-kanakan. Jadi apakah salah jika kita berguru pada anak-anak...??
__________________________________
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!