Sebulan lalu ketika Ibuku bertanya, "Lebaran tahun ini pulang nggak?" aku hanya bisa menjawab belum tahu. Bukan tanpa alasan, rencana pulang memang sudah ada tapi tiket belum di tangan. Lalu dua minggu lalu, hari ke 14 Ramadhan tiket Kairo-Surabaya sudah ditangan, segera ku telepon adikku dan kukatakan,
"Bilang sama ibu, buatkan aku seperti biasa. Insyaallah aku pulang lebaran nanti."
Ibuku memang selalu membuatkan berbagai makanan kering untukku seperti abon daging, dendeng kering, bawang merah goreng, bumbu pecel dengan rasa pedas yang khas, kerupuk dan juga berbagai macam bahan makanan. Ini dilakukannya sejak aku menikah dan tinggal jauh darinya.
Ketika keesokan harinya aku menelepon ibu, beliau mengatakan,
"Semua pesananmu sudah ibu siapkan, bapakmu yang membantu ibu mengupas bawang dan juga menggorengnya. Kami lembur setiap habis subuh.."
Kebahagiaan ibu mendengar aku pulang di minggu terakhir Ramadhan untuk merayakan lebaran, terdengar dari nada bicaranya diujung telepon. Aku memang tak lagi duduk satu meja bersama mereka ketika berbuka puasa, dan sahur sejak menikah 16 tahun lalu. Rutinitas ibu membangunkanku sahur dan memasak dengan menu buka puasa yang khas menjadi sebuah hal yang kerap kali kurindukan.
Perjalanan Cairo-Surabaya kulalui hampir 24 jam karena harus 8 jam transit di Singapura. Dilanjutkan dengan perjalanan darat dari Surabaya ke kota tempat bapak ibuku tinggal, Banyuwangi selama kurang lebih 10 jam menjadi perjalanan mudik yang melelahkan. Tapi bayangan wajah bahagia ibuku membuat perjalanan melelahkan itu tak lagi terasa.
Perjalanan udara disambung perjalanan darat demi pertemuan dengan bapak ibu mengantarkan kerinduanku akan masa kecil. Rindu kamarku, pantai di belakang rumah, sejuknya udara gunung, terutama masakan ibu.
Bapakku yang dulu gagah dan terlihat "seram", hingga membuat aku dulu takut berbuat kesalahan, sekarang terlihat tua di usianya yang hampir 60 tahun sehingga tidak lagi gagah dan "menyeramkan". Ibuku, diusianya yang menjelang senja masih terlihat cantik seperti dulu, walaupun keriput sudah memenuhi wajahnya. Sampai saat ini tangannya masih cekatan memasak, dan menjahit. Bahkan masih menerima jahitan walaupun sudah tak seramai dulu. Usaha jahitan ibuku itu mampu membantu bapak memenuhi kebutuhan keluarga kami dulu, hingga mengantar aku dan adikku menjadi sarjana.
Ibuku masih seperti dulu, masih menganggapku anak-anak. Yang ketika pulang lalu menyiapkan makanan favorit untukku, menyiapkan handukku ketika mandi, menyiapkan bekal makanan ketika pergi dari rumah.
Ahh.... aku masih suka merepotkanmu ya bu... aku juga masih jadi anak-anak dimatamu, walaupun kini aku juga menjadi ibu sepertimu. Semua tentang rumah mampu membuatku rindu. Maka dari itu... tahun ini aku mudik. Aku ingin menikmati lebaran ini bersamamu seperti saat aku kecil dulu.
Ibu... aku mudik untukmu...
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H, Taqaballahu Minna Wa Minkum.. mohon maaf  lahir & batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H