Mohon tunggu...
Ellys Utami Purwandari
Ellys Utami Purwandari Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Pecinta travelling, fotografi, dan masih terus belajar dalam menulis. Mimpi terbesar adalah ingin menimba pengalaman dari berbagai belahan dunia. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tes Calistung untuk Masuk SD, Perlu Nggak Sih??

21 Juni 2012   20:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 4450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak pertama,

Saat TK A dia sudah pandai membaca Iqra', membaca koran, menulis walaupun di sekolah tidak secara khusus mengajarkannya namun di rumah memang dikondisikan untuk bisa. Lalu saat masuk TK B dia ikut sebuah kursus mental aritmatika dan kemampuan berhitungnya tentu saja lebih baik dari anak seusianya. Saya pikir agak memaksa sepertinya, tapi si anak tidak merasa bosan dan tertekan dengan keadaannya ini.

Namun ketika masuk SD, anak ini bingung ketika diberikan soal matematika berupa soal cerita. Karena dia hanya terbiasa menghitung cepat (bahkan perkalian) alhasil dia tidak mengerti mengenai konsep dan analisa. Misalnya ada soal seperti ini : Ayah memiliki 5 buah permen, diberikan pada kakak 2 buah, berapakah sisanya? Dia pasti kebingungan menjawab soal ini.

Anak kedua

Karena pengalaman dengan anak pertama, ketika TK saya biarkan saja dia bermain tanpa mengajarkannya membaca, dan berhitung secara khusus. Kalau dia bertanya tentang huruf baru kami beritahu. Sama halnya dengan angka, dia susah sekali mengenal dan menghafal angka sehingga sering terbalik-balik menyebutkannya terutama angka belasan. Dan kami membiarkannya sambil membimbing tanpa memaksanya untuk hafal.

Sampai akhirnya dia mampu menghafal dan tidak salah lagi dalam menulis dan menyebut angka waktu di televisi ada tayangan iklan kampanye (tahun 2004) yang menyebutkan tanda gambar dengan angkanya. Tayangan televisi yang berulang-ulang, rupanya membuat dia otomatis mengingatnya.

Anak Ketiga

Si bungsu bisa membaca saat duduk di TK B. Calistung diajarkan di TK tempat dia sekolah. Tapi dia hanya mau belajar di sekolah saja, dan tidak mau mengulangnya di rumah. Sama seperti anak kedua, saya tidak memaksanya untuk belajar lagi di rumah. Sejak bisa membaca, dia gemar sekali membaca headline surat kabar langganan kami. Gemar juga bermain game dengan menu bahasa Inggris, hobinya juga menghafalkan plat nomor kendaraan, misalnya B dari Jakarta, L dari Surabaya, BM Pekanbaru hingga hampir semuanya dia tahu.

Berhitung juga bisa dia lakukan sampai bersusun 3, diapun sepertinya senang jika bisa menyelesaikan soal-soal yang kami anggap sulit untuk anak seumurannya. Kami tidak pernah memaksakan, kalau dia mau dibuatkan soal ya kami buatkan, tapi kalau bosan tidak kami teruskan. Pokoknya asal dia senang dan enjoy saja.

Untuk Apa Tes Calistung?

Soal perlu dan tidaknya tes calistung pada penerimaan siswa baru di SD memang masih mengundang banyak pro dan kontra. Saya sendiri melihat tes calistung ini sebenarnya perlu dilakukan, tapi tidak untuk menentukan diterima atau tidaknya seorang siswa. Tes ini lebih kepada tes kemampuan, untuk memudahkan guru mengelompokkannya hingga dapat diberikan latihan calistung lebih intensif.

Ada hal yang sebenarnya kontradiktif antara aturan PP no. 69 yang sudah disebutkan di atas dengan kurikulum yang berlaku untuk kelas 1 SD. Lihat saja isi buku-buku SD kelas 1 sekarang, saya pikir sangat tidak memungkinkan jika anak yang tidak bisa membaca belajar menggunakan buku-buku itu. Isi buku yang padat sangat tidak ramah untuk anak-anak yang belum bisa membaca.

Lain halnya waktu saya kelas 1 SD dulu, pelajaran pada awal masuk adalah bacaan, "Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi dan lain sebagainya". Guru masih membimbing siswa untuk mengejanya, tulisan dalam buku juga berupa tulisan yang jarang dengan ukuran yang cukup besar. Jumlah mata pelajaran hanya 3 yaitu bahasa Indonesia, Matematika dan IPA. Bandingkan dengan pelajaran anak kelas 1 SD sekarang. Saya pun masih ingat ada beberapa teman yang masih belum lancar membaca sampai kelas 3.

Sedikit cerita tentang anak yang belum bisa membaca yang kebetulan menjadi teman anak bungsu saya saat duduk di kelas 1 sebuah SD Negeri di Pekanbaru. Karena dia tidak bisa membaca, maka otomatis dia selalu tertinggal mengikuti pelajaran. Guru sudah memberi tambahan untuk belajar membaca di luar jam sekolah tapi sepertinya kurang berhasil.  Alhasil pada akhir tahun ajaran, saat kenaikan kelas anak tersebut tidak naik kelas.

Jadi menurut saya, jika pemerintah melarang sekolah untuk mengadakan tes calistung untuk syarat masuk SD, kurikulum SD terutama kelas 1 harus dirubah. Bukan seperti kurikulum yang sangat padat seperti sekarang. Bayangkan saja jumlah mata pelajaran yang harus dipelajari anak-anak itu, ada sekitar 7 mata pelajaran belum lagi mata pelajaran muatan lokal. Seringkali saya tidak tega melihat anak-anak itu menyandang tas yang beratnya mungkin sama dengan tas saya saat SMP dulu.

Saya sih berharap pendidikan di Indonesia akan semakin baik dan berkualitas tanpa membuat anak-anak kehilangan waktu bermainnya.

Salam hangat..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun