Oleh Amidi
Â
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 20204 ini, menarik untuk dicermati, karena partisipasi pemilih jauh dari harapan, turun dratsis bila dibandingkan  dengan partisipasi pemilih pada saat pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden atau pemilihan jauh sebelumnya.
Timbul pertanyaan, apakah turunnya partisipasi pemilih tersebut karena didorong oleh faktor ekonomi? Â atau adanya kejenuhan dikalangan pemilih?.
Â
Turun Drastis!
Komas.com, 13 Dsember 2024 mensitir bahwa KPU mengumumkan bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 secara nasional hanya mencapai 70 persen. Begitu juga dengan di  di Provinsi Sumatera Selatan, partisipasi pemilih saat Pemilihan Calon Guberneur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Selatan hanya mencapai 72 persen. (detik.com,  8 Desember 2024).
Dilapangan, saya sempat memantau bahwa pada salah satu lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) dekat pemukiman saya yang terdiri dari 3 Rukun tetangga (RT), data dari KPU terdapat 470 jumlah pemilih, namun setelah TPS ditutup, pemilih yang hadir atau yang memilih hanya 200-an pemilih saja, tidak sampai 50 persen, begitu juga bebera lolasi lain di lingkup Kota Palembang..
Data yang di sitir oleh KPU dan berita pada media massa dan media sosial tersebut, itu disajikan secara utuh jumlah pemilih yang datang ke TPS. Namun, bila kita tilik dari kulaitas kertas sura  dalam kotak suara, maka angka tersebut akan lebih kecil lagi, karena tidak sedikit kertas suara yang ada dalam kotak suara "rusak", "tidak syah" dan "tidak dicoblos".
Â
Faktor Ekonomi VS Kejenuhan?
Dinamika ini memunjukkan bahwa pemilih sepertinya sudah tidak antusias, seperti pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya, pilkada-pilkada sebelumnya.Mengapa?
Banyak faktor yang menyebabkannya, namun diduga ada dua faktor yang cendrung  signifikan yakni faktor ekonomi dan faktor kejenuhan. Faktor ekonomi, memang saat ini anak negeri ini terlebih selaku pemilih, sedang mengalami kesulitan ekonomi, mereka golongan kelas menengah dan bawah sudah "makan tabungan", dan "sudah menunda konsumsi", karena pendapatan mereka turun bahkan karena mereka tidak memiliki pendapatan tetap.
Dari sini, kita bisa menduga bahwa pemilih "kelihatannya" lebih memikirkan bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhannya, sementara pengalaman masa lalu, sepertinya/disinyalir  kebanyakan mereka masih "berjuang sendiri" untuk memikirkan diri mereka, kebanyakan mereka masih berjuang sendiri untuk menuju hidup sejahtera. Ditambah lagi, harga barang cendrung naik, dan adanya beban ini dan itu. Seperti ada kenaikan PPN 12 persen.
Memang pemerintah hanya mengenakan PPN 12 tersebut untuk barang mewah, namun dilapangan tidak demikian, pelaku bisnis orang yang cepat sekali bertindak atas adanya perubahan variabel ekonomi atau akibat akan adanya kebijakan baru, maka mereka sebelum kebijakan baru tersebut diberlakukan, mereka sudah lebih dahulu bertindak. Sama hal nya dengan kenaikan PPN 12 persen.
Jika kita simak, baru-baru ini kebijakan kenaikan PPN 12 persen tersebut dikenakan pada barang mewah, namun sebelumnya, tidak sedikit pelaku bisnis yang sudah dahulu menaikkan harga.
Jangan heran, jika anak negeri ini makan di restoran atau membeli barang-barang tertentu, mereka harus menanggung pajak yang memberatkan mereka. Memang pajak merupakan kewajiban anak negeri ini kepada negara, namun, jika besaran pajak tersebut terlalu besar atau sudah memberatkan kelas menengah dan bawah, maka pajak akan menjadi beban dalam kehidupan mereka. Belum lagi, mereka harus menanggung beban lain, beban ini dan itu.
Dari faktor ekonomi ini, dengan adanya kesulitan ekonomi ini, terkadang mendorong anak negeri ini "apatis", mendorong pemilih acuh, apalagi dikabarkan bila tidak ada "siraman" dari calon yang bertarung.
Sehingga, yang dapat dipastikan akan memilih adalah anak negeri ini selaku pendukung, selaku tim sukses, selaku partisipan calon yang sedang bertarung, anak negeri ini selaku pemilih yang tidak terlibat, akan menentukan "sikap" masing-masing.
Memang tidak memilih atau golongan putih (golput) itu dilarang, apalagi bila ada ajakan  untuk golput,  jelas melanggar Undang-undang.  Memang hak politik (political rights) adalah hak semua warga negara, hak memilih dan dipilih adalah hak semua warga negara asal sudah memenuhi syarat yang sudah ditentukan.
Saya kurang paham dari sisi hukumnya. Namun, dilapangan kita masih menemukan pemilih tidak menggunakan hal pilihnya, pemilih yang menggunakan hak pilihnya, namun hak pilih itu tidak syah, karena mereka tidak mencoblos gambar calon hanya memasukkan kertas suara ke dalam kotak suara, mereka mencoblos sembarangan (entah sengaja atau tidak), dan kasus lainnya yang menyebabkan kertas suara tersebut tidak syah.
Bila disimak, baik secara langsung atau tidak langusng, dilapangan ternyata faktor ekonomi masih mempengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih, untuk memilih dengan syah atau memilih asal-asalan. Bila dicermati faktor ekonomi memang mendorong anak negeri ini "untuk gembira atau tidak", "untuk berparisipasi atau tidak". Secara sederhana, bila anak negeri ini secara ekonomi sudah dapat memenuhi kebutuhan yang wajar dan dari sisi keuangan memungkinkan mereka "bebas menggunakan/mengorganisir pikirannya", maka soal pilih-memilih mungkin mereka pikirkan, namun sebaliknya.
Kemudian, disinyalir pula ada aspek  "kejenuhan". Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, karena mereka sudah jenuh denga kondisi yang mereka hadapi, mereka sudah jenuh dengan "belantikan pemilihan", mereka sudah jenuh dengan tidak terwujudnya "harapan" mereka pada calon terpilih.
Liputan 6 com,  11 Desember 2024,  memberitakan bahwa, menurut pakar  ada kejenuhan usai Pilpres. Peneliti Kebijakan Ppublik dan Institute for Development of Policy and Local Patnerships (IDP-LP) Riko Voviantoro menilai rendahnya angka partisipasi  pada Pilkada 2024 karena ada kejenuhan politik.
Bila disimak,  memang  terkdang ada idiom dikalangan mereka, memilih atau tidak memilih sama saja. Nah, jika sudah pada tahap anggapan demikian, maka kita perlu mengantisipasi kondisi ini ke depan, agar partisipasi pemilih tidak cendrung turun.
Â
Beberapa Catatan.
Berdasarkan hal di atas, maka kita  terlebih pihak yang berwenang, perlu melakukan intropeksi, perlu mengevaluasi, dan para calon terpilih harus bertanya kepada diri sendiri, sudah berapa banyak produk atau program yang ditawarkan atau yang dijual pada saat kampanye atau mempromosikan diri tersebut sudah terealisasi. Jika belum, dan masih ada waktu tersisa, maka secepatnya merealisasikan program tersebut.
Jika ada program priotitas, apakah program tersebut sudah berjalan dengan baik atau hanya sekedar atau asal merealiasasikannya saja. Sebagai contoh, sebelumnya tidak sedikit calon terpilih yang menjual program prioritas "sekolah gratis dan berobat gratis", namun dilapangan "gratis" nya hanya tertentu saja tidak semua "gratis". Nah, hal demikian, Â mungkin salah satu yang menyebabkan pemilih kecewa dan mempengaruhi keinginannya untuk memilih atau tidak pada periode berikutnya.
Kemudian, pembangunan yang diharapkan menyentuh semua lapisan anak negeri ini terkadang tak kunjung tiba, yang ada hanya pembangunan sektoral dan lebih hanya untuk kemanfaatan pihak tertentu.
Belum lagi adanya pembangungan yang terkesan asal-asalan, jika kita simak di daerah, tidak seikit pembangunan terminal yang terbengkalai, tidak dimanfaatkan, karena mungkin sebelumnya tidak dilakukan studi terlebih dahulu atau mungkin dipaksanakan.
Mari kita merenung, apa yang akan kita perbuat untuk pemilih atau anak negeri ini, jika kita terpilih, apakah benar-benar ingin berjuang atau justru pilkada kita anggap suatu investasi. Sudah saat-nya kita berbebah, negeri ini membutuhkan perubahan besar, negeri ini memerlukan sentuhah "tangan besi" yang bisa merubah dan mempercepat laju pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Selamat Berjuang!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H