Oleh Amidi
Untuk memulai suatu unit bisnis, mutlak dibutuhkan modal. Berdasarkan sifatnya, ada modal tetap dan ada modal lancar. Sekecil apa pun skala bisnis yang akan kita lakukan, tetap dibutuhkan modal, walaupun jumlahnya relatif kecil.
Modal yang dibutuhkan dalam membuka dan atau memulai suatu unit bisnis, tergantung dari skala unit bisnis yang kita lakoni itu sendiri. Jika kita ingin membuka usaha skala kecil-kecilan, modal yang dibutuhkan pun relatif kecil. Jika kita ingin membuka unit bisnis skala besar, modal yang dibutuhkan pun lumayan besar.
Seperti bila kita ingin membuka unit bisnis dengan sistem "franchise" atau "waralaba", biasanya sudah ditentukan. Misalnya, kita ingin membuka unit bisnis ritel modern yang menggunakan suatu merek atau brand tertentu, paling tidak kita membutuhkan modal disetor dalam hitungan angka ratusan juta rupiah.
Modal Dengkul?
Dalam perbincangan sehari-hari di kalangan anak negeri ini, masalah modal ini, sering kita dengar dengan sebutan istilah modal dengkul. Pada umumnya di kalangan anak negeri ini, istilah modal dengkul secara bebas sering diartikan "tidak ber-modal" atau "modal ala kadarnya".
Ada ujaran anak muda, wajar "gaes" kalau unit bisnis lo tidak berkembang, lo hanya mengandalkan modal dengkul sih.
Maksudnya, dalam menjalankan unit bisnisnya, seseorang hanya bermodal ala kadarnya. Bermodal apa adanya, sehingga wajar, kalau unit bisnisnya jalan ditempat alias sulit berkembang.
Dalam artian, seseorang yang membuka unit bisnis tidak menggunakan modal sebagai mana lazimnya seseorang membuka suatu unit bisnis. Mereka membutuhkan modal hanya ala kadarnya, peralatan seadanya, kemampuan seadanya dan atau "mengompreng" dengan unit bisnis orang lain.
Dalam suatu tinjauan pustaka "modal dengkul" dapat diartikan tidak berupa modal fisik, seperti uang, peralatan, dan lainnya untuk dijadikan modal, kecuali tenaga orang itu sendiri, dalam pengertian "tenaga fisik", juga dalam pengertian keterampilan atau gabungan keduanya. Modal dengkul juga bisa diartikan sebagai semangat yang merupakan sumber daya penting. (digilib.unila.ac.id).
Dalam melakoni unit bisnis, selain modal berwujud seperti uang, gedung dan mobil, ada juga modal tidak kasat mata seperti keahlian, kemampuan berkomunikasi, dan kreativitas. Keduanya saling melengkapi untuk keberlangsungan bisnis.
 Meluruskan Istilah "Dengkul".
Bila disimak, dalam kehidupan sehari-hari, penyebutan istilah "modal dengkul" tersebut sering sekali. Bila ada seseorang yang membuka unit bisnis hanya bermodal apa adanya, atau bermodalkan tenaga saja, maka seseorang tersebut akan disebut ia melakukan unit bisnis hanya bermodal dengkul.
Ada pula yang mengartikan modal dengkul (istilah salah satu daerah) dalam membuka unit bisnis, ia hanya bermodalkan suara atau hanya dengan mengandalkan "lisan".Â
Cukup dengan "bercuap-cuap" atau "mempermainkan kata-kata, ia bisa melakuakan suatu unit bisnis.
Misalnya, ada istilah "tukang ulo/ngulo", meminjam idiom Palembang. Profesi ini sangat populer di Palembang. Jika ada seseorang pelaku usaha atau ada seseorang yang mau menjual sesuatu barang (misalnya tanah), maka tukang ulo tersebut, kesana kemari menawarkan tanah yang akan dijual tersebut.
Kemudian, bila kita hubungkan dengan hakikat dari dengkul dalam anatomi manusia sendiri, maka dengkul dapat diartikan sebagai sendi yang menghubungkan femur dan tabia. (wikipedia.org).
Selanjutnya, secara umum, kata dengkul, dapat disebut juga sebagai lutut. Bila, kita bicara masalah lutut, maka kita akan bicara mengenai salah satu anatomi manusia yang terbilang vital atau sangat penting.
Seseorang tidak bisa berdiri apabila lutut-nya, mengalami "cedera" atau ada gangguan secara fisik. Karena lutut merupakan suatu "konstruksi" pada tubuh manusia untuk manusia itu berdiri.
Ibarat suatu bangunan, maka lutut tidak salah, bila kita identikkan dengan konstruksi suatu bangunan (tiang-tiang penyangga), sehingga bangunan tersebut dapat berdiri.
Dengan demikian, maka lutut memegang peranan penting dan strategis bagi seseorang untuk melakukan aktivitas. Dengan demikian, pula. maka lutut berarti merupakan suatu hal yang penting sekali.
Pengalaman saya pada saat cedera lutut, terjadi "fraktur tempurung lutut", lutut saya terbentur di lantai, yang menyebabkan tempurung lutut saya "retak", sehingga saya harus dioperasi untuk dipasang kawat kecil (wire). Saya harus istirahat, menghentikan semua aktivitas lebih dari satu bulan.
Pada saat itu saya menyadari anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa lutut tersebut, luar biasa penting dan vital bagi kehidupan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Dalam hal ini, karena ada seseorang mengalami hal yang sama, sampai ia yang mengatakan bahwa "satu miliar rupiah pun, saya tidak akan menjual lutut saya".
Pernyataan spontan tersebut, menyatakan betapa mahalnya dan betapa vitalnya "lutut". Dengan demikian, pula berarti lutut tidak boleh lagi diandaikan dengan nilai yang ringan (murah), anatomi tubuh yang tidak boleh dihiraukan, karena lutut sangat vital dan memegang peran strategis dalam kehidupan ini.
Dengan demikian, maka istilah modal dengkul, nampaknya sudah kurang tepat bila kita mengacu dari peran dan fungsi lutut yang luar biasa vital dan strategis tersebut, yang bernilai mahal tersebut.
Sebaiknya Modal Non Fisik atau Keringat.
Dengan demikian, maka istilah modal dengkul perlu diluruskan. Apakah tidak sebaiknya diganti dengan sebutan modal non fisik saja. Karena bila disebutkan modal fisik yang lazim kita ketahui adalah berupa uang, peralatan, mobil dan lain-lain itu, maka modal non fisik lebih "pas", karena ia berupa keahlian, tenaga, dan faktor non fisik lainnya.
Untuk itu, sebaiknya dalam kehidupan sehari-hari anak negeri ini, sebaiknya tidak lagi menggunakan istilah modal dengkul tersebut, karena penyebutan modal dengkul seakan-akan meremehkan atau menafikan seseorang yang melakoni unit bisnis yang tidak menggunakan modal fisik yang besar, seperti yang lazim diartikan dalam kehidupan sehari-hari tersebut.
Padahal modal non fisik justru memegang peranan penting, yang tak kalah pentingnya dengan peran dan fungsi dengkul atau lutut tersebut. Dengan modal non fisik, maka unit bisnis yang kita lakoni tersebut, diyakini akan dapat berjalan dan layaknya sebagaimana kita menggunakan modal fisik
Lagi pula, jika kita ingin menyebut modal dengkul, seharusnya diartikan dengan suatu nilai dengkul yang dinilai dengan uang yang "tidak kecil" tersebut.
Pengalaman saya pada saat masih duduk di bangku SD beberapa puluh tahun yang lalu, saya menjual es bungkus, es yang dibungkus dengan plastik memanjang ukuran 20 cm, yang dijual dengan menggunakan termos es.
Saya tidak menggunakan modal fisik (uang) sama sekali, seperti harus membeli termos es, sepeda dan lainnya, tetapi saya hanya bermodalkan tenaga dan suara saja (istilah umumnya modal dengkul tersebut).
Saya dipinjami termos es oleh pelaku bisnis es bungkus tersebut, setiap hari setelah sepulang sekolah, saya mengambil es bungkus tersebut sepenuh termos es, lebih kurang isinya 100 bungkus. Saya jajakan atau tawarkan kesana kemari sambil bersuara atau berteriak; "es bungkus coklat susu manis", singkat cerita setiap hari es bungkus yang saya bawa tersebut habis terjual.
Nah inilah yang dinamakan modal dengkul istilah pada umumnya tersebut. Padahal, dengan modal dengkul tersebut, saya bisa melakukan unit bisnis (berjualan es bungkus).
Untuk mengakhiri tulisan sederhana ini, sekali lagi, mari kita meluruskan istilah modal dengkul dengan penyebutan "modal non fisik" (bukan uang atau lainnya melainkan keahlian, tenaga, keterampilan) atau menggantinya dengan istilah "modal keringat" atau istilah kerennya "sweet equity".
Yakinlah memulai unit bisnis dengan modal keringat pun kita juga bisa sukses,seperti unit bisnis kuliner nya Wong Sola Grup yang brand nya sudah terkenal dan tersebar serta sukses. Selamat Berjuang!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H